Mohon tunggu...
Aldrin Budi Utomo
Aldrin Budi Utomo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menjadikan seni dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kota yang Sibuk, Jiwa yang Sepi : Berjalan Tanpa Suara Hati

13 Agustus 2025   20:00 Diperbarui: 13 Agustus 2025   20:00 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: lagi orang berjalan 

 

Di tengah gemerlap lampu jalan, deru kendaraan, dan langkah kaki manusia yang saling menginjak, ada jiwa-jiwa yang berjalan tanpa arah. Kota yang sibuk dengan ritme yang tak pernah melambat sering kali menciptakan irama yang memekakkan telinga, namun ironisnya membusukan suara hati. Setiap orang tenggelam dalam kesibukannya sendiri, mengejar target, melawan waktu, dan berusaha tetap bertahan di rutinitas yang melelahkan.

Namun, di balik wajah-wajah yang tampak tegar, tersimpan kesunyian yang tak terlihat. Banyak orang yang sebenarnya rindu untuk berhenti sejenak, menghela napas, dan mendengarkan hati mereka. Sayangnya, gangguan kota membuat suara hati itu semakin pudar. Tidak ada ruang untuk berbicara dengan diri sendiri, apalagi untuk menciptakan aktivitas yang benar-benar memberi makna. Semua terjebak dalam alur yang seragam: bangun, bekerja, pulang, lalu mengulanginya kembali esok hari.

Kehidupan di kota memang menawarkan berbagai peluang, namun juga membawa tantangan yang tak kalah besar. Inovasi, kreativitas, dan impian sering kali terpinggirkan oleh kebutuhan yang mendesak. Dalam keramaian, seseorang bisa merasa lebih kesepian daripada berada sendirian. Ini adalah paradoks yang nyata: di tengah ribuan orang, hati bisa tetap sunyi.

Berjalan di tengah kota yang sibuk tanpa suara hati ibarat mengarungi lautan tanpa kompas. Kita melangkah, namun tidak benar-benar tahu kemana tujuan kita. Kita tersenyum, namun mungkin hanya sekedar topeng untuk menutupi kegelisahan. Kita berbicara, namun sering kali tanpa kedalaman makna.

Agar tidak larut dalam kesunyian yang membungkam, kita perlu belajar kembali untuk mendengarkan. Menyisihkan waktu sejenak dari riuhnya kota, menutup layar ponsel, dan merasakan detak jantung kita sendiri. Dari sana, suara hati akan kembali terdengar, memberi petunjuk ke arah yang lebih bermakna.

Kota tidak akan pernah berhenti bergerak, tapi kita punya pilihan untuk menemukan irama kita sendiri. Berjalan di tengah keramaian sambil tetap mendengar suara hati adalah seni yang harus dilatih. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi penonton dalam hidup sendiri, tetapi menjadi sutradara yang mengarahkan setiap langkah.

Karena pada akhirnya, suara hati adalah satu-satunya peta yang bisa membawa kita pulang ke tempat di mana jiwa benar-benar merasa hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun