Mohon tunggu...
ALDI MAULANA
ALDI MAULANA Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercubuana jurusan akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tax Heaven sebagai gejala : Refleksi melalui Nietzsche (Beyond good and evil) dan Heidegger (The Question Concering Technology)

25 Juni 2025   12:58 Diperbarui: 25 Juni 2025   12:58 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Fenomena tax haven atau surga pajak bukanlah sekadar persoalan hukum atau kebijakan fiskal, melainkan mencerminkan realitas dunia ekonomi global yang sarat dengan ketimpangan, eksklusi, dan manipulasi struktur kuasa. Negara-negara surga pajak memungkinkan perusahaan multinasional dan individu kaya untuk menyembunyikan atau mengalihkan kekayaan agar terhindar dari kewajiban pajak. Dalam diskursus moral dan hukum, praktik ini sering dicap "jahat" atau "tidak etis". Namun, bagaimana jika pendekatan etik konvensional justru tidak cukup?

Tulisan ini bertujuan untuk memahami tax haven bukan sekadar sebagai "penyimpangan", melainkan sebagai gejala dunia modern. Untuk itu, pendekatan yang digunakan bersifat reflektif-filosofis, mengacu pada Friedrich Nietzsche dalam karya Beyond Good and Evil dan Martin Heidegger dalam esainya The Question Concerning Technology. Keduanya tidak melihat dunia secara normatif, melainkan secara ontologis dan genealogis.

1. Tax Haven: Pengertian dan Permasalahan Kontemporer

Tax haven, atau dalam bahasa Indonesia disebut surga pajak, merujuk pada suatu negara atau yurisdiksi yang menawarkan tarif pajak yang sangat rendah atau bahkan tidak memungut pajak sama sekali kepada individu atau badan usaha asing. Ciri khas lainnya adalah adanya kerahasiaan keuangan yang tinggi, kurangnya transparansi, serta minimnya kerja sama internasional dalam pertukaran informasi pajak.

Menurut modul pembelajaran Universitas Mercu Buana (2023), indikator utama dalam mengidentifikasi tax haven adalah melalui Corporate Tax Haven Index (CTHI) yang dikembangkan oleh Tax Justice Network. Indeks ini mengukur:

Seberapa besar potensi penyalahgunaan sistem pajak negara tersebut oleh bisnis multinasional.

Persentase transaksi penghindaran pajak global yang "difasilitasi" oleh negara tersebut.

Negara dengan skor CTHI tinggi tidak sekadar memiliki tarif pajak rendah, tetapi secara aktif menyediakan struktur hukum dan keuangan yang memungkinkan perusahaan global mengalihkan laba dan aset guna menghindari kewajiban pajak di negara domisili aslinya.

Fenomena tax haven bukan hanya menjadi masalah bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga menjadi isu global karena menyangkut keadilan fiskal, kesenjangan ekonomi, dan stabilitas sistem keuangan internasional. Permasalahan utama yang muncul meliputi:

a. Erosi Basis Pajak dan Pengalihan Laba (BEPS)

Perusahaan multinasional memindahkan keuntungan ke yurisdiksi tax haven melalui berbagai skema seperti transfer pricing, intangible assets shifting, dan pembentukan special purpose vehicle (SPV) di negara surga pajak. Praktik ini menyebabkan negara asal kehilangan potensi penerimaan pajak yang sah.

Contoh konkret di Indonesia terlihat dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh, yang membahas bagaimana pengalihan saham melalui perusahaan antara (SPC) yang berdomisili di tax haven bisa diperlakukan sebagai pengalihan saham badan usaha di Indonesia. Hal ini mendorong lahirnya PMK No. 258/PMK.03/2008, yang mewajibkan pemotongan PPh sebesar 20% atas penghasilan dari pengalihan saham melalui tax haven (Kementerian Keuangan RI, 2008).

b. Ketimpangan Global

Hanya segelintir negara yang dapat mengambil keuntungan besar dari status mereka sebagai tax haven (seperti British Virgin Islands, Cayman Islands, atau Luxembourg), sedangkan sebagian besar negara---terutama negara berkembang---kehilangan potensi pendapatan pajak yang signifikan. Hal ini menciptakan asimetri dalam pertumbuhan ekonomi global dan memperbesar jurang ketimpangan sosial.

c. Pencucian Uang dan Kejahatan Keuangan

Yurisdiksi tax haven sering dikaitkan dengan praktik money laundering, fraud, dan korupsi. Tingkat kerahasiaan yang tinggi dan lemahnya pengawasan di negara-negara ini menyulitkan otoritas fiskal dan hukum untuk melacak asal-usul dana. Kasus seperti Panama Papers dan Paradise Papers mengungkapkan bagaimana elite global menggunakan struktur di tax haven untuk menyembunyikan aset atau menghindari tanggung jawab hukum.

d. Diskriminasi Fiskal dan Etika Pajak

Dalam kerangka etika, tax haven menimbulkan perdebatan serius: mengapa perusahaan besar dengan keuntungan miliaran dolar bisa membayar pajak sangat kecil, bahkan nol, sementara pelaku UMKM atau pekerja biasa dibebani pajak secara penuh? Ini mengarah pada krisis kepercayaan terhadap sistem perpajakan dan legitimasi negara dalam menjalankan fungsi redistribusi ekonomi.

Beberapa organisasi internasional telah menyusun daftar negara-negara tax haven, di antaranya:

IMF (2008) mengidentifikasi 46 yurisdiksi sebagai tax haven, termasuk Switzerland, Bermuda, Singapura, dan Luxembourg (Maraa, 2015).

OECD juga mengembangkan kriteria dan daftar hitam (blacklist) serta daftar abu-abu (graylist) negara-negara yang tidak kooperatif dalam perpajakan internasional.

CTHI 2021 menempatkan British Virgin Islands, Cayman Islands, dan Bermuda di posisi teratas sebagai yurisdiksi paling agresif dalam memfasilitasi penghindaran pajak korporasi.

Untuk menanggulangi dampak negatif tax haven, sejumlah inisiatif global diluncurkan, seperti:

OECD Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan, termasuk kewajiban country-by-country reporting dan minimum global tax rate.

EU Tax Blacklist, yang mengidentifikasi dan menekan negara-negara non-kooperatif.

Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes, yang mempromosikan pertukaran data otomatis antar negara.

Namun, efektivitas regulasi ini masih terbatas karena banyak tax haven menggunakan teknik yang sangat kompleks dan memiliki dukungan politik dari elite internasional.

Bagi Indonesia, tantangan terhadap tax haven hadir dalam bentuk:

Keterbatasan pertukaran informasi lintas negara;

Praktik treaty shopping oleh wajib pajak luar negeri melalui special purpose entities;

Kebutuhan reformasi sistem pajak internasional yang lebih adil dan kooperatif.

PMK No. 258/PMK.03/2008 telah menjadi langkah awal untuk mendeteksi skema penghindaran pajak lintas yurisdiksi, tetapi tanpa kerja sama internasional dan compliance perusahaan, peraturan ini masih rentan untuk dielakkan.

2. Perspektif Nietzsche: Melampaui Baik dan Jahat

Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche (1886/2002) mengkritik moralitas tradisional yang membagi realitas secara dikotomis: baik vs jahat. Baginya, moral semacam itu bukanlah kebenaran universal, tetapi produk sejarah dan kehendak kuasa (will to power).

Jika kita menerapkan perspektif Nietzsche ke dalam fenomena tax haven, maka kita dapat memahami bahwa pembentukan dan pemanfaatan surga pajak bukanlah sekadar kejahatan fiskal, tetapi manifestasi dari kehendak untuk berkuasa dalam dunia ekonomi global. Korporasi besar menciptakan sistem, mempermainkan hukum, dan mendefinisikan sendiri apa yang "baik" bagi kepentingan mereka.

Nietzsche menyatakan:

"There are no moral phenomena at all, only a moral interpretation of phenomena." (Nietzsche, 2002, hlm. 108)

Dengan demikian, tax haven bukan entitas netral, melainkan simptom dari kehancuran etika yang dikendalikan oleh kuasa ekonomi. Kita tidak sedang menyaksikan pelanggaran moral, tetapi perubahan moral itu sendiri yang kini dikuasai oleh logika akumulasi modal.

3. Heidegger dan Esensi Teknologi: Tax Haven sebagai Enframing

Martin Heidegger, dalam esainya The Question Concerning Technology (1954/1977), tidak melihat teknologi semata sebagai alat, melainkan sebagai cara dunia ditampilkan (revealing) kepada manusia. Esensi teknologi modern disebut Heidegger sebagai Gestell atau Enframing, yakni cara berpikir yang mereduksi segala sesuatu menjadi "sumber daya" atau "stok" (standing-reserve).

"Enframing means the gathering together of that setting-upon which sets upon man, i.e., challenges him to reveal the real, in the mode of ordering, as standing-reserve." (Heidegger, 1977, hlm. 20)

Dengan kacamata Heidegger, tax haven adalah salah satu bentuk enframing dalam sistem keuangan global. Negara, hukum, manusia, dan bahkan etika tidak lagi dipandang sebagai entitas bernilai intrinsik, melainkan sekadar sumber daya fiskal yang bisa dikelola, dimanipulasi, atau dieksploitasi.

Negara-negara tax haven tidak hanya menjadi lokasi, tetapi alat teknologi ekonomi global. Mereka berfungsi sebagai mesin optimalisasi pajak, mengatur kehadiran hukum agar hukum itu sendiri menjadi komoditas. Ini bukan sekadar tindakan immoral, melainkan bentuk radikal dari cara dunia diungkapkan secara teknologis---di mana manusia menjadi pengelola sistem akumulasi dan bukan lagi makhluk etis.

4. Tax Haven sebagai Gejala: Analisis Ontologis

Dari perspektif Nietzsche dan Heidegger, tax haven bukan anomali, melainkan refleksi terdalam dari dunia modern itu sendiri. Ia adalah:

Cermin dari kehendak kuasa (Nietzsche): korporasi besar tidak mengikuti hukum; mereka membuat hukum melalui kuasa.

Produk dari logika teknologis global (Heidegger): hukum dan etika telah dikonstruksi sebagai instrumen optimasi sumber daya fiskal.

Akuntansi sebagai sistem representasi realitas keuangan juga tidak netral. Ia berada di jantung mesin enframing itu sendiri---mengukur, menghitung, melaporkan---bukan untuk kebenaran, tapi untuk efisiensi dan akumulasi.

5. Kritik dan Reorientasi Etika Pajak

Bagaimana seharusnya kita merespons? Tidak cukup dengan menambah regulasi atau memperkeras retorika moralitas pajak. Justru kita harus kembali bertanya secara radikal: apa itu pajak? apa itu negara? apa itu keadilan dalam dunia ekonomi global?

Pendekatan Nietzschean mengajak kita mewaspadai moralitas yang dibentuk oleh pemenang (dalam hal ini korporasi global). Sementara Heidegger mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam enframing yang membuat manusia kehilangan orientasi eksistensialnya.

Reorientasi etika pajak perlu berpijak pada pemulihan nilai manusia, tanggung jawab antar-generasi, dan makna keberadaan bersama (Mitsein) dalam dunia global. Dunia akuntansi perlu menyadari dirinya bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai bentuk praksis etik untuk menciptakan transparansi dan keberlanjutan.

6. Kasus Ilustratif: Enron dan Cayman Islands

Sebagaimana diulas dalam studi Eugenia Ramona Maraa (2015), Enron memiliki 881 anak perusahaan offshore, di mana 692 di antaranya terdaftar di Kepulauan Cayman. Ini adalah contoh konkret bagaimana tax haven bukan hanya struktur hukum, tapi juga cerminan kehendak kuasa dan pemikiran teknologis yang ekstrem.

Enron mereduksi struktur hukum menjadi alat manajemen laba. Akuntansi digunakan bukan untuk mencerminkan realitas, tetapi untuk menciptakan realitas fiktif demi akumulasi dan penghindaran risiko hukum. Dalam konteks Heidegger, ini adalah puncak dari Gestell; dalam konteks Nietzsche, ini adalah kemenangan moralitas korporasi atas moralitas masyarakat.

7. Kesimpulan

Fenomena tax haven sering kali didekati dari sudut pandang teknis, legal, dan administratif semata. Namun, melalui refleksi filosofis yang mengacu pada pemikiran Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger, kita dapat melihat bahwa tax haven bukan hanya sekadar hasil dari celah hukum atau manipulasi pajak, tetapi merupakan gejala ontologis dan moral dari dunia modern itu sendiri.

7.1. Tax Haven sebagai Simptom dari Dunia Modern

Dalam kacamata Nietzsche, moralitas yang melekat dalam perdebatan tentang tax haven adalah produk dari konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan. Maka, pernyataan bahwa penghindaran pajak adalah "jahat" tidaklah universal, melainkan merupakan bentuk moralitas yang telah dikolonisasi oleh kekuatan dominan, yaitu korporasi global dan elite ekonomi. Mereka tidak hanya mengikuti hukum, tetapi membentuk hukum demi mempertahankan will to power---kehendak untuk menguasai dunia finansial dan memonopoli legitimasi.

Heidegger, di sisi lain, melihat dunia modern sebagai tempat di mana manusia semakin terjebak dalam cara berpikir yang disebutnya sebagai enframing atau Gestell. Ini adalah cara berpikir teknologis yang mengubah seluruh realitas menjadi sesuatu yang bisa dikalkulasi, dimanipulasi, dan dimanfaatkan. Dalam konteks ini, tax haven adalah instrumen dari logika teknologis yang mereduksi manusia, negara, dan hukum menjadi komponen dalam mesin akumulasi modal.

Dengan demikian, tax haven tidak dapat dipahami hanya sebagai penyimpangan, tetapi sebagai cermin yang menampilkan wajah sejati dunia kontemporer---sebuah dunia yang dikendalikan oleh logika kuantifikasi, penguasaan, dan efisiensi, bahkan terhadap nilai-nilai yang seharusnya bersifat etis dan sosial.

7.2. Implikasi Etika dan Eksistensial

Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendalam: apakah sistem perpajakan internasional benar-benar dirancang untuk keadilan dan keberlanjutan sosial, ataukah ia sekadar instrumen bagi elite untuk mengatur ulang dunia demi kepentingan akumulatif?

Nietzsche mengingatkan kita bahwa kita hidup dalam dunia yang telah "melampaui baik dan jahat"---dunia di mana batas antara legalitas dan moralitas semakin kabur. Heidegger mengingatkan bahwa dalam masyarakat teknologis, manusia kehilangan makna keberadaannya karena segala sesuatu dilihat dari sudut pandang fungsional semata. Ketika hukum dan akuntansi kehilangan makna etiknya, keduanya hanya akan menjadi alat---dan tax haven menjadi manifestasi paling telanjang dari kondisi tersebut.

7.3. Reorientasi Menuju Etika Fiskal Baru

Oleh karena itu, jika kita ingin menghadapi fenomena tax haven secara serius, kita tidak bisa berhenti pada pendekatan normatif atau kebijakan semata. Kita memerlukan:

Perombakan cara berpikir ekonomi dan akuntansi, agar tidak sekadar menjadi alat teknokratis, tetapi menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan sosial.

Kesadaran etis yang melampaui hukum positif, bahwa keadilan fiskal tidak hanya soal kepatuhan, tetapi soal komitmen terhadap keberadaan bersama (Heidegger: Mitsein).

Pemaknaan ulang terhadap konsep pajak, bukan sebagai beban, tetapi sebagai bentuk solidaritas dan kontribusi kolektif.

Akuntansi dan perpajakan tidak bisa terus menjadi ruang kosong yang netral. Keduanya adalah ruang politik dan etika, tempat nilai-nilai hidup, keadilan sosial, dan keberlanjutan seharusnya diperjuangkan.

7.4. Penutup

Akhirnya, tax haven adalah gejala dari struktur global yang tengah kehilangan arah etiknya. Nietzsche menantang kita untuk mempertanyakan ulang sumber moralitas kita. Heidegger mengajak kita untuk keluar dari cara berpikir teknologis yang mengasingkan. Melalui keduanya, kita diajak untuk tidak hanya mengatasi tax haven secara administratif, tetapi untuk merefleksikan kembali kemanusiaan kita dalam dunia fiskal yang semakin tidak manusiawi.

Sebagai mahasiswa, akademisi, atau praktisi akuntansi dan perpajakan, tugas kita bukan sekadar menjelaskan fenomena ini secara teknis, tetapi mengkritisinya secara radikal, dan menyusun ulang etika fiskal global yang berkeadilan, partisipatif, dan berorientasi pada keberadaan bersama, bukan pada akumulasi segelintir elite.

Daftar Pustaka

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row. (Karya asli diterbitkan tahun 1954)

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2008). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak. https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2008/258~PMK.03~2008Per.pdf

Maraa, E. R. (2015). Determinants of tax havens. Procedia Economics and Finance, 32, 1638--1646. https://doi.org/10.1016/S2212-5671(15)01490-2

Nietzsche, F. (2002). Beyond good and evil (R.-P. Horstmann & J. Norman, Eds.; J. Norman, Trans.). Cambridge University Press. (Karya asli diterbitkan tahun 1886)

OECD. (2013). Action plan on base erosion and profit shifting. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264202719-en

OECD. (2021). Corporate tax statistics: Fourth edition. OECD Publishing. https://www.oecd.org/tax/tax-policy/corporate-tax-statistics-database.htm

Tax Justice Network. (2021). Corporate Tax Haven Index 2021. https://cthi.taxjustice.net/en/cthi/2021

Universitas Mercu Buana. (2023). Modul K14: Tax Haven Country (CPMK 5). Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mercu Buana Jakarta.

Zucman, G. (2015). The hidden wealth of nations: The scourge of tax havens. University of Chicago Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun