Perusahaan multinasional memindahkan keuntungan ke yurisdiksi tax haven melalui berbagai skema seperti transfer pricing, intangible assets shifting, dan pembentukan special purpose vehicle (SPV) di negara surga pajak. Praktik ini menyebabkan negara asal kehilangan potensi penerimaan pajak yang sah.
Contoh konkret di Indonesia terlihat dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh, yang membahas bagaimana pengalihan saham melalui perusahaan antara (SPC) yang berdomisili di tax haven bisa diperlakukan sebagai pengalihan saham badan usaha di Indonesia. Hal ini mendorong lahirnya PMK No. 258/PMK.03/2008, yang mewajibkan pemotongan PPh sebesar 20% atas penghasilan dari pengalihan saham melalui tax haven (Kementerian Keuangan RI, 2008).
b. Ketimpangan Global
Hanya segelintir negara yang dapat mengambil keuntungan besar dari status mereka sebagai tax haven (seperti British Virgin Islands, Cayman Islands, atau Luxembourg), sedangkan sebagian besar negara---terutama negara berkembang---kehilangan potensi pendapatan pajak yang signifikan. Hal ini menciptakan asimetri dalam pertumbuhan ekonomi global dan memperbesar jurang ketimpangan sosial.
c. Pencucian Uang dan Kejahatan Keuangan
Yurisdiksi tax haven sering dikaitkan dengan praktik money laundering, fraud, dan korupsi. Tingkat kerahasiaan yang tinggi dan lemahnya pengawasan di negara-negara ini menyulitkan otoritas fiskal dan hukum untuk melacak asal-usul dana. Kasus seperti Panama Papers dan Paradise Papers mengungkapkan bagaimana elite global menggunakan struktur di tax haven untuk menyembunyikan aset atau menghindari tanggung jawab hukum.
d. Diskriminasi Fiskal dan Etika Pajak
Dalam kerangka etika, tax haven menimbulkan perdebatan serius: mengapa perusahaan besar dengan keuntungan miliaran dolar bisa membayar pajak sangat kecil, bahkan nol, sementara pelaku UMKM atau pekerja biasa dibebani pajak secara penuh? Ini mengarah pada krisis kepercayaan terhadap sistem perpajakan dan legitimasi negara dalam menjalankan fungsi redistribusi ekonomi.
Beberapa organisasi internasional telah menyusun daftar negara-negara tax haven, di antaranya:
IMF (2008) mengidentifikasi 46 yurisdiksi sebagai tax haven, termasuk Switzerland, Bermuda, Singapura, dan Luxembourg (Maraa, 2015).
OECD juga mengembangkan kriteria dan daftar hitam (blacklist) serta daftar abu-abu (graylist) negara-negara yang tidak kooperatif dalam perpajakan internasional.