Mohon tunggu...
aldiansyahpattihua
aldiansyahpattihua Mohon Tunggu... Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

80 Tahun Merdeka : Maluku Di Antara Kekayaan Laut Dan Kemiskinan Rakyat

17 Agustus 2025   19:17 Diperbarui: 17 Agustus 2025   19:27 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Seharusnya ini menjadi momentum refleksi atas perjalanan bangsa dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan: adil, makmur, dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di balik pencapaian tersebut masih tersisa pekerjaan rumah yang belum tuntas. Pemerataan pembangunan, peningkatan kesejahteraan rakyat, serta pengelolaan sumber daya alam secara adil masih menjadi isu utama yang menghantui perjalanan bangsa. Ketidakmerataan itu tampak jelas ketika membandingkan wilayah barat dengan daerah timur yang kaya akan potensi, tetapi minim perhatian pemerintah.

Di tengah berbagai capaian pembangunan yang sering dibanggakan pemerintah, Maluku justru masih dianaktirikan. Daerah yang dikenal dengan julukan "Provinsi Kepulauan Rempah-rempah" dan juga "Provinsi Seribu Pulau" ini menyimpan potensi kekayaan laut, hasil bumi, hingga pariwisata yang memukau. Namun, potensi tersebut belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat Maluku secara keseluruhan. Akses transportasi yang terbatas, harga kebutuhan pokok yang tinggi, serta keterbatasan fasilitas pendidikan dan kesehatan masih menjadi masalah besar bagi rakyat Maluku. Ironi ini menunjukkan bahwa setelah 80 tahun Indonesia merdeka, semangat pemerataan pembangunan belum sepenuhnya hadir di kawasan timur Indonesia, khususnya Provinsi Maluku.

Kesenjangan pembangunan di Maluku semakin terlihat jelas ketika ditinjau melalui data. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Maluku pada Maret 2024 mencapai 14,39%, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 9,03%. Tidak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Maluku pada tahun 2023 berada di angka 70,22, lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional yang mencapai 74,39. Padahal, Maluku memiliki potensi perikanan yang sangat besar, mencapai 1,6 juta ton per tahun, dan dikenal sebagai salah satu lumbung ikan nasional. Ironisnya, kekayaan laut tersebut belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Maluku. Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan sumber daya alam di Maluku belum benar-benar berpihak pada masyarakat lokal, melainkan dikuasai oleh pihak luar dan terkendala oleh kebijakan pemerintah yang cenderung Jawa-sentris.

Dengan penetapan Provinsi Maluku sebagai salah satu lumbung pangan laut nasional yang memiliki potensi sangat besar, Laut Maluku yang kaya akan ikan cakalang, tuna, hingga berbagai komoditas perikanan lainnya seharusnya mampu menjadi penopang utama ketahanan pangan nasional. Namun, kenyataannya status sebagai lumbung pangan laut itu lebih sering menjadi label kebanggaan semata tanpa diikuti langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan lokal. Infrastruktur pelabuhan perikanan yang terbatas, pengelolaan hasil laut yang minim, serta akses distribusi yang sulit membuat masyarakat Maluku belum sepenuhnya merasakan kekayaan laut mereka sendiri. Situasi ini menegaskan bahwa kebijakan pemerintah belum menyentuh akar permasalahan yang ada, yaitu memastikan kekayaan laut Maluku benar-benar menjadi sumber penghidupan yang adil bagi masyarakat, bukan sekadar angka dalam laporan pembangunan.

Kondisi tersebut menunjukkan bagaimana pembangunan Indonesia masih cenderung bersifat Jawa-sentris. Fokus kebijakan ekonomi, pendidikan, dan infrastruktur sebagian besar masih bertumpu pada wilayah barat Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Akibatnya, wilayah timur termasuk Maluku kerap menjadi penonton dalam arus besar pembangunan nasional. Padahal, kontribusi Maluku terhadap ketahanan pangan laut nasional sangat penting. Ironisnya, rakyat yang hidup di daerah dengan sumber daya alam melimpah justru mengalami kesenjangan ekonomi yang tajam, seakan-akan kemerdekaan yang dijanjikan delapan dekade lalu belum sepenuhnya mereka rasakan.

Untuk menjawab ketimpangan ini, pemerintah seharusnya mulai menempatkan Maluku sebagai prioritas pembangunan yang nyata, bukan hanya jargon semata. Peningkatan infrastruktur perikanan, pembangunan industri pengolahan hasil laut di daerah, serta akses distribusi yang lebih baik harus segera diwujudkan. Selain itu, pemberdayaan nelayan lokal melalui pendidikan, teknologi tangkap yang ramah lingkungan, dan akses pembiayaan yang terjangkau akan membantu masyarakat Maluku lebih mandiri. Dengan demikian, potensi laut Maluku tidak lagi hanya menguntungkan segelintir pihak luar, melainkan benar-benar menjadi kekuatan ekonomi rakyat.

Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah momentum refleksi, bukan sekadar perayaan seremonial. Maluku, dengan kekayaan laut dan keindahan alamnya, masih menanti janji keadilan sosial yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin membangun Indonesia yang merata, maka Maluku harus ditempatkan bukan sebagai pinggiran, melainkan sebagai bagian penting dari pusat pembangunan bangsa. Pada usia Republik yang ke-80 ini, harapan rakyat Maluku sederhana: agar kemerdekaan tidak hanya menjadi simbol di atas kertas, tetapi hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun