Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

JK Vs Yusril, Demokrasi Mana yang Mau Dijalankan?

14 Februari 2021   06:00 Diperbarui: 14 Februari 2021   06:16 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jusuf Kalla (JK) tiba-tiba bicara soal demokrasi. Dia menilai bahwa demokrasi saat ini sedang tidak berjalan baik. Menurut dia hal itu disebabkan ongkos yang mahal untuk mencapai kuasa.

"Apa masalah demokrasi kita? Demokrasi kita terlalu mahal jadi tidak berjalan baik, untuk menjadi anggota DPR berapa? Bupati? Untuk jadi calon saja butuh biaya," kata pria yang disapa JK seperti dikutip liputan6.com dalam acara mimbar demokrasi di kanal daring Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sabtu, 13/2/2021.(liputan6.com, 13 Pebruari 2021)

Ada angin apa yang mendorong JK bicara mengatakan demokrasi tidak jalan? Dia mengatakan bahwa jika demokrasi tidak jalan, maka pemerintah akan jatuh. Ini sungguh mengejutkan tentunya. Menyatakan demokrasi tidak jalan dengan alasan ongkos menjadi pejabat atau yang berkuasa mahal. Lalu pemerintahan yang berjalan selama ini, dimana beliau menjadi wakil presiden ke 10 dan 12 itu pemerintahan yang bagaimana? Bukan demokratis? Otoriter?

Yusril Ihza Mahendra menimpali dan memberikan tanggapan terhadap pendapat JK tersebut. Menurut JK pemerintah akan jatuh jika demokrasi tidak jalan. Menurut Yusril,  "hal sebaliknya juga bisa terjadi, dimana jika demokrasi dijalankan maka pemerintah akan runtuh. Persoalan mendasarnya adalah demokrasi yang bagaimana yang dijalankan. Dari dulu kita berdebat tidak habis-habisnya tentang konsep demokrasi kita," kata Yusril dalam keterangannya Sabtu 13/2/2021 (Okenews, 13 Pebruari 2021).

Demokrasi tidak berjalan dengan kurang baik berjalan adalah dua hal yang berbeda. Tidak berjalan berarti tidak ada demokrasi. Benarkah demikian? Apakah memang negara kita tidak lagi negara demokrasi menurut JK? Lalu, pertanyaan dari Yusril, demokrasi yang mana yang mau kita jalankan.

Jika kita kilas balik perjalanan bangsa Indonesia sejak merdeka 1945 sampai sekarang pelaksanaan demokrasi kita sangat berwarna dan berbeda, walaupun kita tetap menamakannya demokrasi Pancasila sebagaimana disebut dalam pembukaan UUD 1945.

Periode 1945 sampai dengan 1959 sebelum keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, negara kita memberlakukan demokrasi  ala liberal. Pemilihan Umum 1955 kita sebut pemilihan umum yang paling demokratis. Namun dengan cara pandang liberal. Pergantian Konstitusi 1949, dari UUD 1945  ke UUD RIS atau KRIS, lalu tahjun 1950 berganti lagi menjadi UUDS 1950 sampai tahun 1959  kembali lagi  ke UUD 1945.

Dominasi partai politik dan gagalnya Konstituante menyusun dan menetapkan UUD yang baru sesuai dengan perkembangan zaman, telah membuat pemerintah dan secara khusus Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante, kembali ke UUD 1945 dan membentuk DPRS/MPRS.

Sejak 1959 sampai tahun 1965, kita mengenal demokrasi terpimpin. Penumpukan kekuasaan kepada presiden serta mengangkat Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar/ Pemimpin Revolusi dan presiden seumur hidup telah menjadi warna tersendiri demokrasi kita. Orde Lama ditumbangkan Orde Baru.

Sejak tahun 1965 sampai dengan 1998 kita mengenal demokrasi Pancasila ala Orde Baru. Seakan membangun dan merumuskan kembali konsep bernegara dan demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Era ini memang dibuat dan disusun kembali kelembagaan negara menurut rumusan UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya cenderung otoriter dan kembali seperti demokrasi terpimpin periode 1959 sampai 1965 lagi. Awalnya mengoreksi kegagalan demokrasi terpimpin gaya Soekarno, namun kembali terjebak dengan gaya otoriter ala Soeharto.

Era setelah orde baru dikenalkan dengan demokrasi reformasi sejak 1998 sampai sekarang. Demonstrasi mahasiswa dan gerakan pro demokrasi berhasil menjatuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Pembatasan kekuasaan dan pemilihan presiden dikoreksi. Presiden hanya boleh dua kali menjabat, bukan seperti Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Pemilihan presiden juga diubah menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat  yang pertama sekali dijalankan pada tahun 2004.

Demokrasi reformasi ini cenderung kebablasan. Kemerdekaan berpendapat seakan tidak terbatas. Tindakan anarkhisme dari kelompok masyarakat yang berdasarkan ideologi transnasional semakin menjadi-jadi. Radikalisme dan terorisme berkembang, seakan dibiarkan terjadi. Dan ketika para teroris dan radikalisme ini ditindak, maka seakan bangsa ini tidak lagi menghargai demokrasi.

Pertanyaan kita sekarang adalah, sekiranya pak JK ditanya, yang mau kita jalankan demokrasi yang mana dan bagaimana menjalankannya? Apakah kita akan kembali ke demokrasi liberal seperti era 1945 sampai 1959? Apakah demokrasi terpimpin seperti era 1959 sampai 1965? Atau demokrasi Pancasila yang otoriter versi Soeharto 1965 sampai 1998? Atau demokrasi era reformasi 1998 sampai sekarang yang kini seperti kebablasan?

Kalau demokrasi dianggap tidak jalan karena ongkos yang mahal untuk meraih kekuasaan, apakah penilaian ini tidak terlalu berlebihan? Atau bahkan terlalu disederhanakan? Over simplication? Atau mungkin kita sebut naif?

Stagnannya peringkat indeks demokrasi kita yang baru dirilis oleh lembaga EIU bukan berarti kita tidak berdemokrasi bukan? Masih ada dalam peringkat. Bagaimana kalau tidak ada lagi dalam peringkat? Apakah negara ini dianggap bubar?

Penilaian kita terhadap demokrasi bangsa kita hendaklah dalam logika dan berpikir jernih. Apalagi dari seorang tokoh bangsa sekaliber JK yang dua kali menduduki jabatan Wakil presiden ke 10 dan 12. Apakah penilaian ini disebabkan oleh sesuatu berupa gangguan hubungan baik dalam kekuasaan atau bisnis? Ataukah ini sebagai bentuk cari perhatian dari pemerintah? Atau ini sebagai ancang-ancang untuk ikut lagi dalam perhelatan Pilpres 2024 yang terinspirasi kemenangan Joe Biden di Amerika Serikat.

Apapun alasan JK untuk memberikan penilaian soal demokrasi sah-sah saja. Yang kita harapkan adalah bagaimana para elit bangsa apalagi seperti JK dengan pengalamannya dalam pemerintahan yang sudah malang melintang dapat memberikan kebijaksanaan dan ungkapan kesejukan bagi kehidupan bangsa.

Pernyataan demokrasi tidak berjalan dengan baik karena ongkos mahal untuk mencapai kekuasaan bukanlah dalam konteks kebijakan dan ungkapan kesejukan tersebut. Jika mungkin hendaknyalah JK menjelaskan demokrasi yang mana yang kita jalankan dan bagaimana menjalankannya? Memberikan kritik dan saran konstruktif ke pemerintah adalah sesuatu yang sangat berharga kepada bangsa ini.

Bukan lagi sekedar mengatakan demokrasi tidak jalan dan mempertanyakan bagaimana mengkritik pemerintah tidak dipanggil polisi. Biarlah orang yang berpengalaman dan orang tua memberikan nasehat yang bijak kepada yang muda, agar yang muda senantiasa menaruh hormat kepada orang tua yang selalu menasehati, bukan menghakimi. Semoga.

Salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun