Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Bulan Purnama

15 Juni 2020   07:59 Diperbarui: 15 Juni 2020   07:59 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semangat Pagi Indonesia.

Sang Bulan Purnama.

Sang Kakek sedang asyik membaca sebuah artikel, ketika Sang Cucu datang menjalankan tugas rutinnya mengantarkan kopi kakeknya.

"Baca apa kek?" kata Sang Cucu memulai percakapan.

"Ini ada sebuah artikel yang menarik tentang Bulan Purnama. Menurut penulisnya ini bulan itu selalu purnama sepanjang masa," kata Sang Kakek.

"Itu cerita fiksi atau ulasan ilmiah kek?" selidik Sang Cucu.


"Ini bukan cerita fiksi. Ini ulasan tentang iman dan ada ilmiahnya juga," jawab Sang Kakek.

"Bagaimana menurut artikel itu bulan purnama sepanjang masa? Kita melihat bulan purnama hanya sekali sebulan," selidik Sang Cucu.

"Dari segi ilmiahnya, bulan itu mengelilingi bumi selama sebulan. Makanya kita hanya melihat bulan purnama sekali sebulan. Contohnya hari ini kita melihat bulan purnama,  bulan berputar. Sebulan kemudian dia kembali ke posisi sekarang, lalu kita lihat lagi bulan purnamanya," kata Sang Kakek.

"Benar juga ya. Dari segi imannya?" kata Sang Cucu.

"Dari segi iman, bulan purnama hanya kita lihat sekali sebulan, tapi mata iman kita percaya bahwa bulan selalu purnama. Karena Tuhan sudah menciptakan dunia dan galaxy raya kita ini sedemikian rupa," kata Sang Kakek.

"Maksudnya kita harus percaya walaupun tidak kita lihat?" tanya Sang Cucu.

"Ya," jawab Sang Kakek.

"Ini yang sulit kek. Orang zaman sekarang, yang sudah dilihat mata sendiri saja, bisa tidak percaya, apalagi yang tidak dilihat," kata Sang Cucu.

"Tapi iman dan ilmiah bisa juga disandingkan untuk meyakinkan orang. Misalnya virus corona ini. Apakah kita percaya ada virus corona, sementara mata kita tidak bisa melihatnya? Diujilah di laboratorium, dengan alat yang ilmiah bisa dibuktikan bahwa virus corona itu ada. Sangat kecil, tapi bisa dilihat dengan mikroskop laboratorium," kata Sang Kakek.

"Benar itu kek," sambut Sang Cucu.

"Tidak semua bisa seperti itu. Misalnya angin. Apakah kita bisa melihat angin? Tidak bisa. Namun perasaan kita bisa mengatakan ada angin. Angin menerpa muka dan kulit kita, ada angin bertiup. Masih tidak percaya? Angin kencang dan puting beliung menghancurkan bangunan dan menumbangkan pohon. Kita melihat anginnya? Tidak. Tapi akibat dari angin bertiup kencang, ada kerusakan bangunan dan pohon," jelas Sang Kakek.

"Wah, mantap juga artikelnya ya kek," kata Sang Cucu.

"Itu pentingnya kita membaca buku, artikel dan mengikuti berita supaya pengetahuan kita bertambah terus," kata Sang Kakek.

"Apa pesan dari artikel itu tentang bulan purnama itu kek?" tanya Sang Cucu.

"Sederhana. Jika engkau pengagum bulan purnama, syukurilah ketika bulan purnama datang. Ketika kau tidak melihat bulan purnama, jangan kecewa. Karena bulan purnama sedang dinikmati orang lain di belahan dunia lain. Itulah keadilan Sang Pencipta untuk membagi kesempatan menikmati bulan purnama sekali sebulan," jelas Sang Kakek.

"Untuk menikmati bulan purnama pun perlu bergiliran dan antri ya kek? Apalagi masuk angkutan dan pasar ya" tanya Sang Cucu.

"Betul. Jadi Tuhan sudah menciptakan dunia dan tatanan galaxy raya sedemikian rupa, itu yang harus kita syukuri. Bulan purnama pun harus dinikmati semua orang. Jadi jika malam gelap, tidak ada kita lihat bulanpun, kita harus yakin bahwa bulan itu ada  dan nanti akan datang lagi, bulan purnama. Jadi dalam kehidupan sehari-haripun kita harus rela antri dan teratur menunggu giliran. Dalam segala aspek kehidupan nyata kita," kata Sang Kakek.

"Bulan purnama, engkau tetap ada, walau mata tak melihatmu," kata Sang Cucu seperti membaca puisi.

"Begitu juga keadaan kita sekarang ini. Walau pandemi Covid-19 ini sedang merajalela dan dunia seakan gelap, percayalah bahwa terang akan datang. Walau kita belum menemukan vaksin untuk mengobatinya, nanti vaksinnya akan ditemukan. Anggap saja vaksinnya sedang berputar mengelilingi bumi seperti bulan purnama. Pada waktunya vaksin itu akan datang," jelas Sang Kakek.

"Wah ini keren. Ilustrasi kakek mantap. Walau vaksin Covid-19 belum datang, kita percaya itu akan ditemukan dan datang seperti bulan purnama ya kek," kata Sang Cucu.

"Betul. Jika kita sekarang menghadapi pandemi Covid-19 seakan gelap, percayalah, vaksin akan ditemukan dan datang seperti terangnya bulan purnama. Sebelum vaksin datang, mari kita ikuti protokol kesehatan Covid-19 dengan adaptasi kebiasaan baru, normal baru. Jaga jarak, pakai masker, rajin cuci tangan dan ikuti aturan pemerintah," kata Sang Kakek.

"Semoga vaksin corona datang pada waktu bulan purnama. Gelapnya pandemi Covid-19 diganti vaksin dan terangnya sinar bulan purnama," kata Sang Cucu.

"Berbahagialah orang yang berpengharapan dan percaya, walaupun dia  tidak melihat," kata Sang Kakek.

Bulan selalu purnama, walau kita tidak bisa melihatnya. Begitulah pandemi Covid-19 bagaikan gelap malam, namun kita percaya, vaksin akan ditemukan dan datang bagaikan sinar bulan purnama. Sebelum datang, ikuti protokol kesehatan Covid-19, gumam Sang Kakek.

Terima kasih dan salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun