Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Desa Produktif, Solusi Urbanisasi yang Meroket

7 Desember 2015   20:19 Diperbarui: 9 Desember 2015   11:40 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peristiwa urbanisasi sudah menjadi spotlight karena meroket tiap tahun. Penyebabnya biasanya ajakkan dari saudara atau rekan yang sudah pernah atau sedang bekerja di kota-kota besar. Urbanisasi juga memiliki apa yang disebut faktor penarik dan faktor pendorong. Dimana faktor penarik adalah faktor-faktor yang menggiurkan pada daerah tujuan sehingga menyebabkan keinginan untuk bermobilisasi. Sedangkan, faktor pendorong adalah faktor-faktor yang membuat seseorang tidak betah lagi di kota asalnya. Kota-kota sasaran biasanya Jakarta, Surabaya, atau Bandung.  Hanya dengan iming-iming pendapatan yang lebih layak dan kehidupan yang lebih baik tanpa pikir panjang mereka terbuai oleh ajakkan tersebut.

Padahal kebanyakkan dari mereka tidak mempunyai keahlian khusus untuk bekerja. Pemerintah juga sebenarnya tidak melarang urbanisasi ini, malah dalam UU pasal 27 no 2 sudah diatur bahwa hak setiap warga negara untuk mencari penghidupan yang layak dimanapun tempatnya. Namun, adanya UU ini juga harus diselaraskan dengan peraturan lainnya agar ledakkan penduduk terkontrol dengan baik. Sedangkan persaingan semakin ketat, mereka harus tetap bertahan hidup demi keluarga yang menunggu di kampung halaman.

Ujung-ujungnya para kaum urban ini akan membentuk ”kubu” sendiri dengan cara mencari teman sepernasiban dan mengisolasi diri di pinggiran kota lalu membuat area permukiman kumuh atau yang disebut juga slums area dengan gaya ala-ala pedesaan. Selain itu, muncul juga squatter. Squatter sendiri berarti seseorang yang menempati suatu lahan atau properti tanpa izin dari pihak yang berwenang. Dalam kasus ini, orang yang tinggal di bawah kolong jembatan dapat disebut sebagai Squatter. Dengan kondisi seperti ini, mereka malah tidak mendapatkan kehidupan yang layak sebagaimana mereka ekspektasikan sebelumnya saat masih berada di tempat asal masing-masing.

Seharusnya permasalahan ini ditanggapi cukup serius oleh pemerintah, karena setiap tahun masalah ini terlihat diabaikan. Seperti dilansir oleh rimanews.com, tahun ini saja sudah 68.537 orang menyesakki ibukota. Lain halnya yang dilansir dari antaranews.com, tingkat urbanisasi tahun 2010 ke 2035 diperkirakan mencapai 66 persen. Rinciannya, berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia, pada 2010 tingkat urbanisasi mencapai angka 49,8 persen. Kemudian di tahun 2015 angka tersebut meningkat menjadi 53,3 persen, dan 60 persen di tahun 2025. "Persentase penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan terus meningkat tiap tahunnya," tutur Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana.

Dapat ditarik kesimpulan pemerintah tidak cukup tanggap dalam hal ini. Efek urbanisasi ini tidak hanya berdampak sekedar slums area atau squatter saja, hal ini juga dapat berdampak pada permasalahan-permasalahan sosial. Contohnya akibat banyaknya slums area akan mengakibatkan kesejahteraan yang rendah, fasilitas dan utilitas tidak cukup memenuhi kebutuhan, belum lagi persaingan mencari pekerjaan mengetat. Dari permasalahan tersebut, permasalahan lainnya juga akan ikut merembet, seperti kriminalitas yang tinggi akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup.

Solusi yang dapat ditawarkan sebenarnya banyak. Sebagai mahasiswa jurusan perencanaan harus dapat peka terhadap permasalahan seperti ini. Menurut analisis saya sebetulnya seperti yang sudah disinggung di paragraf sebelumnya, pemerintah perlu mengamendemen UU pasal 27 no 2 tersebut. Setidaknya beri persyaratan agar dapat bermigrasi. Contoh persyaratannya dapat berupa minimal jenjang pendidikan, diberi rentang waktu untuk singgah. Dengan adanya minimal jenjang pendidikan saja, jumlah pekerja kasar akan berkurang.

Selain itu jika diberlakukan sistem waktu singgah, tidak akan terjadi sesakkan penduduk. Tidak hanya sistem waktu singgah, namun juga sistem pencatatan perlu diperketat. Sistem pencatatan yang saya tawarkan disini maksudnya misal seseorang sudah pernah bermigrasi ke kota A dan memenuhi waktu singgahnya, dia tidak diperbolehkan untuk bermigrasi kembali ke kota tersebut. Selain tidak membuat sesak kota tersebut, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan urbanisasi.

Namun solusi ini dinilai tidak cukup jika tidak ada penyelarasnya. Dalam hal ini penyelarasnya dinamakan "Desa Produktif", yaitu pembangunan di daerah pedesaan sesuai sektor-sektor yang dimiliki. Pembangunan disini juga berarti pemanfaatan Sumber Daya Alam secara maksimal dengan cara pemberdayaan Sumber Daya Manusianya terlebih dahulu. Deteksi terlebih dahulu apa saja kelebihan dari wilayah tersebut untuk kemudian difokuskan agar menjadi mata pencaharian utama. Misalnya di daerah A karena terletak di wilayah pesisir, subsidi BBM untuk kapal nelayan diperlukan. Selain yang diberdayakan tersebut menjadi mata pencaharian utama, dapat juga dijadikan tempat wisata. Contoh konkretnya seperti di kota Batu, terdapat banyak kebun wisata yang notabenenya merupakan penghasilan penduduk sekitar. Jika upaya ini dilakukan secara optimal, tidak hanya sektor perekonomian namun juga sektor pariwisata akan terbangun.

Mungkin saja permasalahan ini sudah menjadi sangat klise, namun jika benang kusut ini terus dibiarkan, akan sulit untuk mengurainya. Sudah saatnya kita sebagai warga negara Indonesia ikut berkontribusi dalam mengatasi hal ini dengan cara pemberdayaan warga desa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun