Mohon tunggu...
al bukhori gymastiar
al bukhori gymastiar Mohon Tunggu... Seorang mahasiswa Hubungan Internasional.

Seorang mahasiswa Hubungan Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Sriwijaya hingga Natuna: Mewariskan Sejarah atau Sekadar Omon-Omon?

12 Oktober 2025   21:20 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:25 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di saat nama Indonesia belum terdengar sebagai sebuah negara kesatuan, berdiri kerajaan-kerajaan megah di dataran Nusantara. Dua nama yang kerap kali terdengar oleh telinga masyarakat masa kini adalah Kerajaan Sriwijaya di abad ke-7 hingga ke-13 M, dan Kerajaan Majapahit di abad ke-13 hingga ke-15 M. Meskipun hidup pada zaman yang berbeda, keduanya sama-sama memandang laut sebagai sumber utama peradaban. Di hamparan laut Asia yang luas, Kerajaan Sriwijaya begitu perkasa dengan kapal-kapalnya yang menguasai jalur perdagangan. Sementara itu, Kerajaan Majapahit dengan luasnya wilayah menggunakan laut sebagai penghubung perdagangan dan kontrol kekuasaan. Kini, dua kerajaan tersebut dikenang sebagai kerajaan maritim terbesar di Nusantara.

Sejarah memang sudah pantasnya untuk dikenang. Lebih dari itu, sejarah bukan hanya untuk dikenang sebagai cerita masa lalu. Ia harus diletakkan sebagai kumpulan warisan pengetahuan yang bisa saja berguna di masa kini. Sejarah dua kerajaan maritim terbesar di Nusantara seolah-olah ingin mengatakan kepada manusia Indonesia masa kini, bahwa Indonesia dengan laut adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Laut adalah sumber peradaban Nusantara, ia harus dijaga dan dihormati sebagai bagian dari tubuh bernama Indonesia.

Pada zaman Presiden Jokowi hingga Presiden Prabowo, kita mengenal jargon yang bernama "Poros Maritim Dunia." Pada awalnya ini dianggap sebagai mewariskan sejarah, tetapi realitas memperlihatkan hal yang lain. Kondisi di Natuna menjadi bukti betapa laut masih belum diperhatikan sebagai sisi yang sentral. Laut Natuna, sebuah wilayah yang berisi kekayaan alam dan kedudukan strategis, kerap kali mengalami pelanggaran-pelanggaran perbatasan wilayah hingga eksploitasi sumber daya. Kondisi ini menjadi pertanyaan bagi pemerintah Indonesia masa kini, apakah slogan "Poros Maritim Dunia" dan slogan lainnya mewarisi sejarah maritim kerajaan nusantara atau sekadar omon-omon belaka.

 

Warisan Masa Lalu dan Realita Masa Kini

Ricklefs di buku "A History of Modern Indonesia" menjelaskan bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadikan laut sebagai pusat kekuasaan, sumber ekonomi, dan instrumen diplomasi. Karenanya posisi laut begitu diperhatikan dan dijaga stabilitas keamanannya. Penguasaan jalur laut menjadi langkah strategi yang digunakan oleh kerajaan seperti Sriwijaya dan Majapahit. Mereka mengerahkan begitu banyak kekuatan militer untuk menjaga laut dan memfasilitasi perdagangan serta aktivitas diplomasi antar kerajaan. Kerajaan Sriwijaya dikenal memiliki armada kapal perang yang cukup besar, bahkan dikabarkan dapat menampung ratusan prajurit dan dilengkapi oleh meriam. Sementara itu, Majapahit juga dikenal memiliki armada tangguh yang menguasai pulau strategis dan melakukan operasi militer (Nugroho, 2017). Beberapa ekspedisi pun dilakukan oleh Majapahit menggunakan armada lautnya untuk melakukan ekspansi wilayah.

Kembali lagi pada masa kini, data Kemenhan 2024 menunjukkan bahwa terdapat alokasi anggaran terhadap untuk TNI AL yang hanya sebesar 19-25% dari total belanja pertahanan. Menurut penuturan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Laksdya Irvansyah, di tahun 2023 Indonesia memiliki sekitar 150 kapal patroli aktif untuk perairan Indonesia. Bahkan di wilayah Natuna Utara hanya ada 2 pangkalan utama dan beberapa kapal yang rotasi. Padahal menurutnya, seharusnya wilayah tersebut idealnya memerlukan sekitar 90 kapal (Antara, 2024). Pada laporan Asia Maritime Transparancy Initiative yang dipublikasikan oleh Central for Strategic and International Studies (CSIS) di tahun 2024, dicatat bahwa terdapat 6 insiden pelanggaran oleh kapal dari China Coast Guard di zona ekonomi eksklusif Indonesia di dekat Natuna pada tahun 2023---2024. Berbagai kejadian tersebut, membuktikan bahwa Indonesia masih perlu untuk meningkatkan fokusnya pada pertahanan maritim melalui berbagai kebijakan yang mendukung.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, kita dapat merujuk kepada gagasan grand strategy yang dikemukakan oleh Sir Basil Henry Liddel Hart, seorang sejarawan militer asal Inggris. Pada bukunya yang berjudul "The Indirect Approach," Hart menjelaskan bahwa strategi haruslah menghubungkan tiga hal, yaitu ends (tujuan strategis), ways (cara untuk mencapai tujuan), dan means (sarana yang tersedia). Sesuai dengan apa yang disampaikan tersebut, Indonesia baru mencapai tahap ends melalui penetapan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Tujuan dari pemerintah Indonesia memang jelas terkait isu keamanan laut, yaitu menjaga kedaulatan wilayah laut termasuk di Natuna Utara. Namun, pada tahap ways dan means belum berhasil dijelaskan. Mengutip penjelasan Hart terkait ways adalah pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan. Maka, Indonesia haruslah memperkuat patroli laut, maritime domain awareness, hingga diplomasi multilateral dengan negara di kawasan Asia Tenggara. Di bagian terakhir, means diartikan sebagai sarana yang dapat digunakan oleh Indonesia untuk mencapai tujuan. Namun, realita di lapangannya hanya terdapat kurang dari 150 kapal patroli untuk seluruh perairan Indonesia, dan hanya satu sampai dua pangkalan di Natuna Utara. Karenanya, Indonesia perlu meningkatkan sarana-sarana seperti kapal patroli dan menambah jumlah pangkalan di Natuna Utara. Jika, bagian terakhir ini tidak dapat dilakukan, Hart mengatakan bahwa tujuan pemerintah tentang Poros Maritim Dunia tidak akan tercapai.

 

Permasalahan terkait laut Natuna yang dialami oleh Indonesia salah satunya dapat disebabkan oleh pemerintah tidak menganggap laut sebagai bagian penting dari keberlanjutan negara. Padahal jika saja ingin menengok kembali pada sejarah kerajaan di Nusantara, Sriwijaya dan Majapahit telah mewariskan tindakan-tindakan penghormatan terhadap laut. Rencana menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia memang langkah yang progresif. Namun, jika itu hanya sebatas slogan yang terucap tanpa adanya tindakan pendukung. Maka selamanya Laut hanya akan dijadikan sebagai bagian dari retorika historis, ia diceritakan sebagai keagungan masa lalu tetapi dimunafikan penghormatannya pada masa kini. Oleh karena itu, tidak perlu banyak omon-omon, cukup menengok kembali saja pada sejarah yang telah diwariskan oleh kerajaan di nusantara.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun