Mohon tunggu...
albina jasmine
albina jasmine Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Nutrition Student at Airlangga Uni

soon to be your nutritonist

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan Jawa dalam Belenggu Budaya Patriarki

18 Mei 2024   14:43 Diperbarui: 18 Mei 2024   14:45 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seringkali terdengar bahwa menjadi perempuan harus mengikuti segala standar tidak masuk akal yang ada di masyarakat. Mereka dituntut untuk memiliki wajah yang rupawan, badan langsing, kulit putih bersih, tidak ada nilai minus pada tubuh mereka. Tak hanya itu, perempuan juga harus bisa masak, bersih-bersih rumah, dan segala pekerjaan rumah yang ada. Apabila mereka tidak memenuhi kualifikasi itu semua, kelak tidak akan ada lelaki yang mau mempersunting mereka.  Berat sekali beban yang harus dipikul oleh seorang perempuan di Indonesia. Belum lagi perkataan dari orang-orang di sekitar yang membuat kita sebagai perempuan semakin kebingungan. “Gak usah sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga akan di dapur.” atau “Sekolahlah yang tinggi, biar dapet suami yang setara sama kamu.” Jadi, pernyataan yang mana yang harus kami (perempuan) percayai? Apakah kita harus menjadi perempuan sesuai dengan standar masyarakat atau mengejar cita-cita dan mengenyam pendidikan setinggi langit?

Istilah “Patriarki” sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat generasi muda. Menurut Pinem (2009) dalam Israpil (2017), Patriarki merupakan sebuah sistem tata tingkah laku yang memposisikan seorang laki-laki di posisi tertinggi di segala aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia, sistem ini sudah berlaku di masyarakat. Perempuan masih menjadi subjek dari hierarki yang mendominasi, dimana peran dan hak-hak mereka sering kali diabaikan atau diremehkan. Akibat budaya ini, perempuan tidak dapat merasakan kebebabasan dalam mengekspresikan diri, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Etnis Jawa menjadi salah satu etnis di Indonesia yang kental akan keberadaan sistem patriarki di masyarakatnya.

Posisi perempuan ditempatkan di bawah laki-laki sudah menjadi hal yang lumrah, tertanam dan berakar dalam kehidupan masyarakat etnis Jawa. Karakteristik lemah lembut seorang perempuan mendukung hadirnya hal tersebut. Dimana seorang laki-laki dalam keluarga dipandang sebagai figur yang bertanggung jawab sepenuhnya untuk keluarga dalam menghidupi, melindungi, dan memberikan dukungan moral bagi keluarga. (Raharjo dalam Fitria et al, 2022). Terkait dengan budaya patriarki pada masyarakat Jawa, terdapat berbagai istilah-istilah yang menunjukkan inferioritas perempuan, yaitu “kanca wingking”, “macak, masak, manak”, “suwargo nunut neraka katut”, dan “dapur, pupur, kasur, sumur”. Keempat istilah tersebut telah membuat seorang perempuan terhimpit dalam keterbatasan dan keterkekangan di masyarakat.

Macak, masak, manak atau lebih dikenal dengan 3M dalam bahasa indonesia memiliki arti macak yaitu berdandan atau menghias diri di depan sang suami, kemudian masak yaitu memasak dan melayani seluruh kebutuhan suami, serta yang terakhir manak yang berarti seorang istri akan mengandung dan melahirkan anak agar bisa meneruskan garis keturunan dari sang suami. Konsep tersebut dalam budaya jawa telah menjadi representasi kehidupan sehari-hari seorang perempuan. Meskipun telah lama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, banyak mengkritik konsep ini dikarenakan seringnya pihak lelaki memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri dalam keluarga

Kaum perempuan masih sulit menemukan identitas dirinya dan tak memiliki keberanian untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, dikarenakan masih berada dibayang-bayang nilai budaya yang melekat erat dengan kehidupan. Seringkali pembagian tugas didasarkan pada pandangan tradisional yang keliru bahwa peran perempuan dan laki-laki ditentukan oleh perbedaan kodrati di antara mereka. Ditetapkan oleh pencipta seluruh alam semesta bahwa kodrat seorang perempuan adalah menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan menyusui dimana ketetapan ini tak dapat diubah sedikitpun (Budiati, 2010). Sehingga kondisi manusia yang bukanlah ciptaan Tuhan bukan merupakan hal yang menjadi kewajiban seorang perempuan.

Sebagai perbandingan, perempuan jawa dalam masa lampau dan masa modern mengalami transformasi peran yang signifikan. Contohnya dalam salah satu cerita rakyat Jawa Timur yang turun-temurun diceritakan oleh nenek moyang dengan judul “Aryo Menak”, digambarkan bahwa perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga yang tidak mencari penghasilan sendiri dan bergantung kepada suaminya untuk bertahan hidup. Serta perempuan hanya dirumah menunggu sang suami pulang sembari menyiapkan makan malam untuk suaminya (Sugiarti, 2021). Dari kehidupan modern, terdapat mantan walikota wanita pertama di kota besar Jawa timur—Surabaya, yaitu Tri Rismaharini. Perempuan pertama yang menjadi walikota di Surabaya ini memiliki prestasi yang sangat melimpah. Sejak kepemimpinan Tri Rismaharini, atau akrab disapa Risma, Surabaya menjadi kota yang memiliki ruang terbuka hijau yang sangat bermanfaat bagi warga kota ini.


Dewasa ini, sudah banyak perempuan Jawa yang keluar dari pemikiran kuno dan budaya patriarki yang melekat pada kehidupan. Telah ditemukan persepsi perempuan-perempuan modern yang menyebutkan bahwa kedudukan seorang perempuan dan laki-laki adalah sama (Budiarti, 2010). Perempuan juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini menjadikan adanya perubahan pada nilai-nilai budaya yang ada dalam mempengaruhi pola pikir dan tindakan oleh kaum perempuan.

Perempuan bukanlah alat pemuas seksual seorang laki-laki, bukan juga pelayan laki-laki, bukan juga pembantu di rumahnya. Perempuan boleh menempuh pendidikan setinggi langit, mengejar cita-cita besar mereka, serta mengembangkan potensi yang mereka miliki di berbagai aspek kehidupan. Pelan tapi pasti, tak hanya perempuan Jawa, tetapi juga seluruh perempuan yang ada di Indonesia bisa bergerak maju untuk keluar dari sistem patriarki yang ada. Menjadi perempuan bukanlah suatu hambatan dalam kehidupan. Kita, Perempuan, memiliki kemampuan yang luar biasa untuk memberikan berkontribusi dalam masyarakat dan Negara.

Referensi : 

Israpil, I., (2017). Budaya patriarki dan kekerasan terhadap perempuan (sejarah dan perkembangannya). Pusaka, 5(2), 141-150.

Fitria, et al., (2022). Peran Istri Di Pandang Dari 3M Dalam Budaya Patriarki Suku Jawa. Equalita: Jurnal Studi Gender dan Anak, 4(2), 168-175.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun