Mohon tunggu...
Albert Wijaya
Albert Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Follow my Twitter : @daridebubintang

Follow my Twitter : @daridebubintang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Charles Darwin, Auschwitz, dan True Detective: Apakah Kita Lebih dari Sekadar Napas di Kandung Badan?

10 Agustus 2021   16:23 Diperbarui: 10 Agustus 2021   17:24 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rustin Cohle, karakter utama dalam True Detective Season 1 digambarkan sebagai seorang yang menganut filosofi pesimis. Ketimbang pesimis, ia lebih suka disebut sebagai seorang realis. Pandangannya terhadap hidup dan eksistensi begitu muram dan antitesis dengan intuisi kuat yang kita miliki akan kebermaknaan hidup dan adanya jiwa. Absurditas hidup dan eksistensi membentuk bagaimana Cohle memandang hidup ini.

Ketika sedang menyelidiki sebuah kasus pembunuhan berantai, Cohle menjajarkan di atas meja puluhan foto jasad korban yang dibantai secara sadis. Ketika memandangi wajah-wajah malang yang kini tak bernyawa itu, Cohle merenungkan keabsurdan hidup. Cohle yang melihat ujung tragis dari orang-orang malang tersebut berkata bahwa mereka semua punya 1 kesamaan.

Orang-orang malang itu : baik tua ataupun muda begitu yakin bahwa mereka adalah individu yang unik dengan tujuan dan makna. Menurut Cohle, mereka  sangat yakin bahwa mereka lebih dari sekadar boneka biologis, lebih dari sekadar napas yang dikandung badan. Sayangnya keyakinan tersebut luluh lantak ketika akhir hidup yang tragis menyergap tanpa ampun.

Di Twitter, saya mengikuti sebuah akun yang bernama @AuschwitzMuseum. Akun tersebut didedikasikan untuk mengenang korban Holocaust Nazi. Bagi yang tidak tahu, Holocaust di masa Perang Dunia ke-II adalah salah satu peristiwa genosida paling mengerikan dalam sejarah. Pemerintahan Nazi di bawah komando Adolf Hitler membantai kurang lebih 11.000.000 orang. Sebelas juta orang : laki-laki, perempuan, lansia, dewasa, dan anak-anak.  Mayoritas korban adalah orang Yahudi, Polandia, Serbia, Kroasia, Soviet, dan Gipsi.

Genosida tersebut dilakukan dengan cara mengirim orang-orang tersebut ke kamp-kamp konsentrasi. Di kamp-kamp tersebut, tahanan yang sehat diharuskan melakukan kerja paksa, sedangkan yang tidak sanggup bekerja diracun di dalam kamar gas. Salah satu kamp konsentrasi yang paling terkenal adalah Auschwitz.

Saat registrasi masuk kamp konsentrasi, semua tahanan didata dengan difoto dan diberi nomor tahanan. Di sana, para tahanan tidak lagi diidentifikasi sebagai individu dengan nama melainkan nomor tahanan. Bagi Nazi, mereka tidak lebih dari sekadar nomor-nomor yang tak ada artinya.

Setelah perang selesai, kamp-kamp tersebut diambil ahli sekutu. Ternyata foto-foto registrasi tahanan masih tersimpan. Akun @AuschwitzMuseum setiap hari memposting foto-foto hitam putih dari orang-orang malang tersebut lengkap dengan nama, pekerjaan, tanggal lahir dan tanggal mereka meninggal di kamp.

Setiap kali memandangi foto-foto tahanan tersebut, saya teringat akan kesimpulan yang ditarik oleh Rust Cohle. Para tahanan tersebut saya yakin adalah individu-individu yang sebelumnya yakin bahwa eksistensi dan hidup ini ada makna, bahwa kita lebih dari sekadar napas, bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Sayangnya sekali lagi keabsurdan hidup dan pahitnya realitas lewat horor Holocaust meruntuhkan intuisi tersebut.

Jadi apakah kita lebih dari sekadar napas? Entahlah.........

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun