Mohon tunggu...
Albertus Muda
Albertus Muda Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi membaca, menulis dan menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membukukan Karya dalam Kesunyian

14 Maret 2023   09:30 Diperbarui: 6 April 2023   11:40 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Membukukan Karya dalam Kesunyian

Albertus Muda, S.Ag

Guru Honorer SMAN 2 Nubatukan-Kab. Lembata-Nusa Tenggara Timur

Sunyi identik dengan suasana yang jauh dari hingar bingar kehidupan modern. Sunyi juga bisa diidentikkan dengan kehidupan yang jauh dari sentuhan teknologi, keterbelakangan dan ketertinggalan.

Dalam konteks literasi, kesunyian dapat menjadi ruang bagi seseorang atau sekelompok orang untuk menimba inspirasi, mengembangkan imajinasinya untuk menghasilkan karya-karya sastra maupun jenis karya tulis lainnya.

Setelah mendapatkan informasi dari salah seorang rekan Sosialisator Program Literasi Nasional (SPL Nasional), saya menarik napas panjang soal biaya pendaftaran. Mengapa? Sebab informasi Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional (GSMB Nasional), saya dapatkan di tengah perjalanan, saat sedang mewaspadai pandemi covid-19.

Apalagi program GSMB Nasional belum dianggarkan dalam rencana kegiatan dan anggaran sekolah (ARKAS). Namun, hemat saya, belajar sampai kapan pun tidak akan pernah final, karena setiap pembelajar selalu berada di tengah jalan dan berada dalam perjalanan.

Dalam situasi dilematis, saya coba membagikan informasi GSMB Nasional, kepada wakasek kurikulum dan kesiswaan. Saya bermaksud menyampaikan kegundahan hati saya, terkait pengembangan dan penguatan literasi sekolah yang sedang mati suri.

Saya sadar bahwa pengelola anggaran, ada di tangan kepala sekolah, maka apa pun jawaban kepala sekolah, saya siap menerimanya. Namun demikian, saya tidak tinggal diam. Pendekatan dan komunikasi terus saya bangun. Sebab menjadi amunisi pamungkas untuk menemukan solusinya.

Demi pemekaran imajinasi dan kreativitas berpikir anak-anak, saya tidak tinggal diam. Sharing tetap saya bagikan dengan penuh optimisme, sembari berdoa memohon agar mimpi anak-anak membukukan karya dapat terealisasi. Upaya terus saya lakukan.

Komunikasi tetap saya jalin dengan wakasek kesiswaan dan kurikulum. Akhirnya pada suatu kesempatan, saya memberanikan diri bertemu wakasek kesiswaan dan memintanya bertemu kepala sekolah.

Apa pun keputusan kepala sekolah, saya tidak banyak memberi komentar karena kuasa anggaran ada di tangan kepala sekolah. Di balik kekhawatiran saya, ternyata jawaban menggembirakan datang dari kepala sekolah.

Bagi kepala sekolah, kegiatan membukukan karya melalui menulis puisi dan cerpen, oleh para siswa dan menulis puisi dan artikel oleh para guru merupakan kegiatan positif yang mesti disambut demi pengembangan kompetensi menulis dan membangkitkan imajinasi siswa dalam membukukan karya.

Batas waktu pendaftaran tersisa seminggu. Saya tetap optimis sambil membangun komunikasi dengan beberapa pihak agar bisa mendapatkan uang nominal 2.500.000 sebagai kontribusi agar nantinya sekolah mendapatkan sejumlah buku sesuai jumlah karya yang dikirim.

Hasil positif tak kunjung datang. Saya memberanikan diri bertemu Direktur Bank NTT Cabang Kabupaten Lembata, Ruben Ludji, agar boleh mendapatkan solusi dalam mengatasi kendala keuangan.

Jalan terjal justru saya tuai. Pertemuan empat mata dengan Direktur Bank NTT Cabang Lembata, tidak membuahkan hasil. Alasannya, sekolah belum bekerja sama dengan Bank NTT Cabang Lembata.

Meski tanpa hasil, saya tetap pulang dengan kepala tegak. Saya percaya, akan ada jalan keluar bagi setiap perjuangan yang tulus untuk banyak orang. Keesokan harinya, saya kembali bertemu kepala sekolah dan menyampaikan kegundahan saya. 

Saya telah berusaha bertemu beberapa pihak ketiga untuk meminta bantuan, termasuk bertemu Direktur Bank NTT, tetapi belum membuahkan hasil. Secara prosedur, solusi yang saya tempuh boleh dinilai sebagai upaya yang sedikit gila.

Saya memberanikan diri membangun komunikasi dengan ibu Lusi, konsultan program GSMB Nasional. Dalam komunikasi itu, saya meminta agar sekolah boleh diberi dispensasi, sambil menanti pencairan dana BOS tahap ketiga.

Saya pun mendapatkan jawaban bahwa sekolah saya diberi dispensasi terkait batas waktu transfer biaya pendaftaran hingga tanggal 5 Oktober 2020. Pagi harinya, 2 Oktober 2020, saya dipanggil oleh kepala sekolah, Bapak Sinu Yohanes. Pesannya, agar saya menemui bendahara BOS.

Siang itu, langit menjadi sangat cerah dan bersahabat mengantarku memasuki ruang tata usaha, menemui bendahara sekolah. Saya pun, mengambil sejumlah uang untuk biaya pendaftaran GSMB Nasional. Adrenalin saya meledak-ledak. Tanggal 5 Oktober 2020, biaya pendaftaran sekolah siap ditransfer. Sekolah resmi menjadi peserta aktif GSMB nasional 2021.

Saya pun, mulai berjalan dari kelas ke kelas mengumumkan program GSMB Nasional kepada para siswa, agar mulai menulis karya kategori puisi dan cerpen. Melalui koordinasi dengan guru Bahasa Indonesia, anak-anak pun menuliskan puisi.

Tak menunggu lama, ratusan puisi pun terkumpul. Puisi-puisi tersebut saya terima dan memverifikasinya. Saya mengeditnya sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam buku panduan GSMB Nasional.

Sebagai penulis pemula yang sedang dalam masa penjajakan jati diri, anak-anak di satu sisi ingin menunjukkan bahwa mereka bisa. Namun, di sisi lain, niat baik itu memaksa mereka untuk melakukan tindakan plagiasi. Kurang lebih 250-an karya siswa berupa puisi yang saya verifikasi dan edit. Karya yang terindikasi plagiasi, benar-benar saya teliti dan langsung saya diskualifikasi.

Rabu, 21 Oktober 2020, editing karya siswa-siswi, memasuki tahap final. Beberapa hal yang perlu saya sampaikan kepada pihak sekolah khususnya bapak/ibu kepala sekolah dan para guru. Pertama, gerakan sekolah menulis buku nasional merupakan salah satu gerakan yang hadir menawarkan solusi literasi dan pendidikan.

Kedua, ketika kepala sekolah, guru dan siswa ketiadaan akses membukukan karya melalui penerbitan buku ber-ISBN, GSMB Nasional hadir menjawab ketiadaan akses itu, dengan memfasilitasi kepala sekolah, guru dan siswa untuk menulis. Karya diverifikasi di tingkat sekolah juga nasional, dilombahkan dan dibukukan dalam buku ber-ISBN.

Ketiga, di setiap satuan pendidikan, pasti ada siswa dan guru, yang memiliki kemampuan dan kegemaran menulis yang baik. Potensi dan kekayaan intelektual tersebut, hendaknya dapat ditangkap oleh mata lahiriah dan mata batin pimpinan sekolah, selanjutnya membuka ruang pengembangan dengan memaksimalkan potensi guru dan siswa yang ada.

Keempat, dibutuhkan kepemimpinan sekolah yang visioner dalam menyikapi berbagai program literasi yang ditawarkan. Berbagai alasan boleh dikemukakan, dalam menanggapi berbagai program literasi yang ditawarkan. Akan tetapi, sangat menyedihkan jika alasan yang diberikan mengada-ada, apalagi memberi label negatif kepada siswa dan guru.

Kelima, kepemimpinan visioner kepala sekolah dalam bidang literasi yang mencakup 6 bidang literasi dasar, mesti terus diperdalam dari waktu ke waktu, agar boleh menjadi rujukan demi memotivasi para guru dan siswa yang dipimpin, menulis dan membukukan karya. Selamat menyalakan masa depan Indonesia dari sekolah masing-masing. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun