Ada kisah yang selalu menggugah setiap kali saya membacanya. Kisah tentang seorang sahabat kesayangan Baginda Nabi SAW---Abdurahman bin Auf RA. Beliau bukan hanya pedagang ulung, juga bermental pembangun ekosisitem ekonomi yang handal. Ia teladan dalam mengelola rezeki dengan cara bermartabat.
Bayangkan, beliau datang ke Madinah dari Makkah tanpa bekal dan harta. Saat sahabat Ansar menawarkan harta dan istri agar beliau tidak kesulitan, Abdurahman bin Auf menolak dengan lembut. Ia hanya berkata, "Tunjukkan padaku di mana pasar."
Kalimat pendek itu adalah simbol mentalitas besar: kemandirian. Di zaman ketika banyak orang lebih memilih menunggu kesempatan, beliau justru menjemput dan menciptakannya.Â
PasarÂ
Begitu ditunjukkan pasar, beliau tidak menunggu. Tidak juga mengeluh. Ia langsung terjun.
Membaca peluang, menakar kebutuhan, dan melihat apa yang bisa dieksekusi segera.
Abdurahman bin Auf memulai usahanya dari hal paling sederhana: menjual kambing beserta tali pengikatnya.
Terdengar sepele, tapi di situlah letak kebijaksanaan bisnis yang jarang disadari orang lain. Ia memberi nilai tambah di tengah kelalaian pasar.
Rasulullah SAW pernah berujar santai kira-kira redaksinya, bahwa sosok Abdurrahman bin Auf itu kendatipun batu digenggaman maka ia bisa mengubahnya menjadi emas.Â
Untuk redaksi lengkap dan penjelasan ulama terkait perkataaan dan hadis ini pembaca bisa merujuk pada kitab induk atau bertanya pada para ulam. Disclaimer dulu bahwa saya bukan ahli hadis apalagi ulama, hanya fakir yang mencoba menukil semoga menguatkan narasi positifnya.Â
Filosofi Kekayaan
Buya Hamka dalam Tasawuf Modern pernah menulis:
"Kekayaan itu seperti pisau. Ia berguna bila dipegang dengan adab, tapi berbahaya bila digenggam oleh hawa nafsu."
Abdurahman bin Auf adalah contoh nyata dari kalimat itu. Beliau tidak menjauhi dunia, tapi menundukkannya dengan iman dan adab yang tinggi.
Kekayaannya tak membuatnya sombong, justru membuatnya dermawan. Ia membiayai perjuangan Islam, membantu para sahabat, dan tetap hidup sederhana.
Inilah wajah sejati tasawuf modern: bukan lari dari dunia, tapi hadir di tengahnya dengan hati yang tenang. Beliau membuktikan bahwa spiritualitas dan bisnis bisa berjalan seiring---asal dijalani dengan niat yang jernih dan benar.
Hari ini, banyak orang lebih sibuk membaca timeline media sosial daripada membaca dinamika pasar. Padahal pasar dalam makna luas adalah cermin dari realitas hidup: tempat kita mengasah strategi, kejujuran, dan nilai.
Mentalitas "Emas"
Mengubah batu jadi emas bukan soal mukjizat, tapi soal cara pandang. Bagaimana kita mampu melihat nilai di balik hal-hal remeh yang sering diabaikan orang lain.
Abdurahman bin Auf mengajarkan bahwa kerja keras, kejujuran, dan keikhlasan adalah tiga kunci utama dalam hidup. Ia membuktikan, siapa pun bisa mengubah nasib jika berani memulai.
Maka, jika hari ini kita merasa hidup serba sulit, mungkin bukan karena takdir yang berat, tapi karena cara pandang yang sempit. Mulailah membaca peluang, bukan sekadar kabar viral. hehehe, tamparan untuk diri sendiri.
Yuk bangun kembali mentalitas emas---mentalitas yang tidak takut mulai dari nol. Karena seperti Abdurahman bin Auf, siapa pun yang berani menggenggam batu dengan iman (keyakinan kokoh) dan kerja keras akan melihatnya perlahan berubah menjadi emas.Â
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI