Padahal dari para pemimpinlah seharusnya lahir teladan membaca. Sebab bangsa besar tidak dibangun oleh kekuasaan semata, tapi oleh kedalaman berpikir.Â
Bung Karno membuktikannya. Di tengah kesibukan memimpin negeri yang baru lahir, beliau masih sempat membaca buku sejarah, filsafat, sampai arsitektur.Â
Hamka membaca hingga menulis tafsir monumental Al-Azhar di dalam penjara. Pramoedya Ananta Toer menulis dan membaca di tengah keterbatasan di Pulau Buru.Mereka tidak menunggu waktu luang untuk membaca, karena bagi mereka, membaca adalah cara untuk tetap hidup.
Virus "Asal Tahu"
Kini, banyak orang merasa sudah cukup dengan "asal tahu." Cukup menonton potongan video dua menit, mendengar cuplikan podcast, lalu merasa paham.Â
Media sosial mengajarkan kita menjadi "serba tahu" tapi tanpa kedalaman. Akibatnya, lahirlah generasi yang cepat menyimpulkan, mudah marah, tapi sulit berpikir jernih.
Kita lebih sering membaca judul tanpa isi, mengutip tanpa sumber, dan mempercayai tanpa verifikasi. Kita kehilangan kebiasaan berhenti sejenak, merenung, dan memahami.
Rutinitas MembacaÂ
Kebiasaan membaca tidak bisa dibentuk dengan slogan. Ia harus dijalankan seperti gaya hidup.Â
Seperti halnya minum kopi setiap pagi atau berolahraga setiap minggu. Ia bukan beban moral, tapi kebutuhan batin.
Mulailah dari hal kecil. Baca satu halaman buku sebelum tidur. Satu artikel reflektif setelah Subuh. Atau satu puisi sebelum berangkat kerja. Sedikit tapi konsisten akan jauh lebih kuat daripada membaca ratusan halaman lalu berhenti selamanya.
Negeri ini sebenarnya tidak sedang kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang yang mau membaca dengan hati. Karena membaca itu melatih empati, membuka jendela batin untuk memahami dunia dari perspektif orang lain.
Maka jangan heran jika hari ini kita mudah terprovokasi, cepat membenci, dan sulit berdialog. Sebab orang yang tidak membaca, akan mudah dimanipulasi.