Haruskah tunduk pada kekuasaan yang busuk, anti melihat murid menghormati gurunya. Aneh bin ajaib memang hehe, lucu! Siapa yang feodal?
Bangsa ini lahir dari rahim Pesantren
Sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari rahim pesantren. Dari Diponegoro yang berangkat dari Mlangi sebuah kampung santri dan kiai di Sleman Jogja yang pendirinya adalah HB pertama dari kesultanan Islam Mataram, hingga perjuangan bambu runcing yang digerakkan para kiai dan santri.Â
Dari Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari yang menggugah bangsa dengan Resolusi Jihad pada Oktober 1945, sampai M. Natsir yang mengajak kesultanan Islam para sultan bergabung membentuk satu kesatuan NKRI. Kesemua peristiwa ini lahir dari rahim pesantren.Â
Bangsa ini berdiri karena hormatnya seorang santri kepada guru dan kiainya. Maka perlawanan dan pejuangan atas dasar ketindukan dan mencari ridho Ilahi apakah patut dilabeli feodal?
Hamka pernah menulis, bahwa bangsa yang kehilangan rasa malu terhadap gurunya, akan kehilangan arah sejarahnya. Ketika penghormatan pada guru dianggap bentuk perbudakan, maka sebenarnya bangsa ini sedang memperbudak dirinya sendiri di hadapan nafsu kekuasaan.
Senerai Penutup
Isu feodalisme pesantren bukan sekadar salah paham. Ia adalah cermin dari kegelisahan masyarakat modern yang kehilangan ukuran moral.Â
Pesantren mengajarkan kita bahwa kebebasan sejati lahir dari ketaatan yang benar: taat pada ilmu, bukan pada kuasa. Taat pada hati nurani, bukan pada harta dan jabatan.
Maka, berhentilah menyematkan label "feodal" kepada pesantren. Karena yang feodal bukan mereka yang beradab pada guru, tapi mereka yang tunduk pada mafia dan pemuja koruptor.
Bangsa ini lahir dari rahim pesantren. Dan jika rahim itu dihujat, jangan heran bila generasi berikutnya tumbuh tanpa rasa hormat---bukan hanya pada guru, tapi juga pada dirinya bahkan bangsanya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI