Buya Hamka pernah menulis tafsir berbahasa Indonesia, di dalamnya terselip cinta dan rasa. Pram menulis novel, Â isinya penuh sejarah dan perlawanan. Keduanya tak sedang berlomba menulis indah; mereka sedang berzikir lewat pena. Mereka menulis tidak untuk populer, tapi menuju abadi.
Maka kalau hari ini engkau menulis satu paragraf saja tentang apa pun. Sesungguhnya engkau sedang menabur benih abadi di alam aksara.Â
Mungkin tak terbaca hari ini, tapi bisa jadi suatu saat, ketika dunia kembali gelap, tulisanmu akan menjadi lentera kecil menyalakan alam pikiran.
Abadi Lewat Kata, Hidup Bersama Makna
Santri yang menulis berarti santri yang berzikir dalam bentuk berbeda. Ia tidak hanya mengulang lafaz suci di bibir, tapi juga menuliskan nilai-nilai ilahiah dalam wujud narasi, kisah, dan refleksi.
Menulis bagi santri adalah ibadah yang memanjangkan umur pikiran. Kita berharap ada keberkahan di dalamnya dan memberikan manfaat.
Menulis, sejatinya, adalah perbuatan spiritual. Sebab menulis menuntut kejujuran, kesabaran, dan kesadaran. Tiga hal yang juga menjadi ruh dalam zikir.
Esensi zikir, kita hanya ingin satu hal: agar hidup ini tidak berlalu sia-sia. Agar ada sesuatu yang tertinggal dari diri kita, dapat dikenang bukan karena nama, tapi karya.
Berzikirlah seabadi mungkin. Tak hanya lewat tasbih dan doa, tapi juga lewat tinta yang menulis untuk mengingat, memahami, dan menyalakan arti hikmah.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI