Pidato Menggema di Ruang PBB
Ada momen menarik ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri di mimbar Sidang Umum PBB, berbicara dengan nada tegas dan gestur khas yang memancarkan wibawa seorang mantan prajurit sekaligus negarawan. Dunia mendengar. Para diplomat mencatat. Dan rakyat Indonesia---terutama mereka yang peka pada isu kemanusiaan---menyimak dengan seksama: akhirnya Indonesia kembali bicara keras tentang Palestina.
Bukan hanya isi pidatonya, tetapi cara beliau menyampaikan pesan itu yang menarik untuk diamati. Gestur tangan yang terukur, nada suara yang berlapis antara ketegasan dan empati, serta pilihan kata yang seolah menandai babak baru diplomasi Indonesia: lugas, merangkul, dan berani. Prabowo berbicara seolah bukan hanya sebagai Presiden, tapi sebagai manusia yang menyaksikan panjangnya derita rakyat Palestina.
Namun di balik euforia itu, ada ruang refleksi yang perlu kita isi bersama. Karena bicara di forum dunia hanyalah satu langkah kecil dari perjuangan panjang yang disebut "mendukung kemerdekaan Palestina." Pertanyaannya: apakah Indonesia siap mengambil jalan terang itu?
Telah Tertulis di UUD 1945
Kita sebenarnya sudah punya panduan yang tegas. Dalam Pembukaan UUD 1945, tertulis kalimat yang begitu indah sekaligus berat tanggung jawabnya: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Kalimat ini bukan sekadar pembuka konstitusi, tapi sebuah janji moral bangsa. Janji bahwa Indonesia tidak akan pernah berpaling dari penderitaan bangsa lain yang tertindas. Maka ketika Prabowo berbicara soal perdamaian dan keadilan global, publik berharap bukan hanya diplomasi manis, tapi sikap nyata---politik luar negeri yang berpihak penuh pada kemerdekaan Palestina, tanpa tawar-menawar.
Sejarah mencatat, Presiden Soekarno pernah menolak kehadiran Israel dalam Asian Games 1962 sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Kini, di era Prabowo, kita punya kesempatan untuk menghidupkan kembali semangat itu, tentu dengan cara yang kontekstual: lewat diplomasi aktif, dukungan kemanusiaan, dan advokasi global yang berkeadilan.
Palestina Butuh Indonesia yang Tegas
Di tengah konflik yang berkepanjangan dan genosida yang terus terjadi di Gaza, dunia membutuhkan negara-negara yang berani bersuara jernih---tanpa takut kehilangan posisi ekonomi atau dukungan politik dari kekuatan besar. Dan di sinilah Indonesia bisa menjadi poros moral.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sekaligus bangsa yang lahir dari perjuangan melawan penjajahan, Indonesia punya legitimasi sejarah dan moral untuk memimpin gerakan global menuntut kemerdekaan Palestina.
Para ahli perdamaian menyebut bahwa diplomasi modern tidak cukup hanya dengan mengutuk. Ia perlu solidarity-based action---gerakan diplomasi berbasis solidaritas. Artinya, Indonesia bisa menginisiasi aliansi Asia-Afrika baru yang fokus mendorong pengakuan kemerdekaan Palestina di forum internasional. Bisa pula lewat peningkatan peran Indonesia di Dewan HAM PBB, bahkan mengusulkan misi kemanusiaan bersama negara-negara sahabat.
Prabowo, dengan pengalaman militernya yang paham arti penderitaan akibat perang, bisa menjadi tokoh dunia yang memperjuangkan humanitarian ceasefire---gencatan senjata kemanusiaan permanen yang membuka jalan bagi kemerdekaan penuh Palestina.