Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Menulis dan membaca sejarah, penikmat kopi, pecinta budaya juga sastra. Kini menjadi suami siaga untuk nyonya tercinta sebagai pekerjaan tetap.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seniman: Tentara Penjaga Batas Makna

6 Oktober 2025   19:57 Diperbarui: 6 Oktober 2025   19:57 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash.com by. Maria Rodideal

Saat membuka media sosial lewat di beranda ponsel saya membaca postingan cukup menggugah diunggah oleh salah satu yang saya anggap guru. Ya, Ipang Asy'ari Sudirman Wahid akrab disapa Gus Ipang. 

Beliau di atas adalah anak dari Almagfirlah KH. Solahuddin Wahid sosok pengasuh Tebuireng yang merupakan anak kandung Wahid Hasyim mentri Agama pertama RI merupakan pahlawan nasional atas kiprahnya sebagai founding fathers turut serta menjadi perumus UUD 1945. 

Gus Ipang adalah seniman negri ini juga anak dari sosok hebat pengasuh pesantren bersejarah, tokoh nasional hingga kakek bahkan buyutnya kita semua santri mengenalnya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari. 

Kakeknya yaitu KH. Wahid Hasyim adalah pelopor lahirnya Laskar Hizbullah merupakan cikal-bakal lahirnya TNI (Tentanra Nasioanal Indonesia). Kini sedang merayakan hari lahirnya sebagai benteng kokoh telah menjaga batas negara ke- 80 tahun.

Kata menggugah dari Gus Ipang Wahid

Ada satu kalimat dari Gus Ipang Wahid yang nempel di kepala saya: "Seniman adalah juga tentara penjaga batas makna". Kalimat itu sederhana, tapi jika direfleksi dalam-dalam, ia seperti mengetuk pintu kesadaran yang lama tak dibuka: bahwa makna kini sedang terancam---bukan oleh kekerasan, tapi oleh kebisingan.

Kita hidup di zaman ketika kata-kata kehilangan kedalaman. Sesuatu yang menyedihkan ialah karya seni kerap diperlakukan hanya sebagai hiburan cepat saji. Padahal, seniman sejatinya adalah benteng terakhir dari kesadaran---mereka yang saban hari berperang di ruang sunyi, mencari arti, menimbang rasa, dan menyalakan kewarasan.

Tentara Tak Berlaras Senjata 

Sampai di sini mari kita sepakati bahwa seniman adalah "tentara" tanpa berlaras senjata. Ia tidak membawa peluru, melainkan kata. Tidak menggenggam granat, melainkan kuas, nada, atau gores pena yang menari tanpa henti. Tapi medan perangnya sungguh nyata. Lawannya bukan manusia, melainkan kekosongan makna yang pelan-pelan menggerus nurani kita anak bangsa.

Ketika dunia digiring oleh algoritma dan logika ekonomi, seniman datang dengan kesadaran lembut: bahwa hidup bukan sekadar angka kepentingan pragmatis lagi politis, melainkan tentang rasa dan empati.

Bayangkan bila tak ada karya musisi hingga penulis melahirkan nada, puisi, teater, atau film yang menyentuh nurrani. Mungkin manusia sudah lama menjelma mesin---bekerja, menghasilkan, lalu kehilangan arah. Seniman mencegah itu terjadi. 

Mereka menjaga agar manusia tetap bisa menangis, tertawa, dan merenung. Karena yang paling berharga dari hidup bukanlah hasil, tapi perjalanan memahami diri.

Pertahanan Budaya dan Nurani Generasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun