Saat membuka media sosial lewat di beranda ponsel saya membaca postingan cukup menggugah diunggah oleh salah satu yang saya anggap guru. Ya, Ipang Asy'ari Sudirman Wahid akrab disapa Gus Ipang.Â
Beliau di atas adalah anak dari Almagfirlah KH. Solahuddin Wahid sosok pengasuh Tebuireng yang merupakan anak kandung Wahid Hasyim mentri Agama pertama RI merupakan pahlawan nasional atas kiprahnya sebagai founding fathers turut serta menjadi perumus UUD 1945.Â
Gus Ipang adalah seniman negri ini juga anak dari sosok hebat pengasuh pesantren bersejarah, tokoh nasional hingga kakek bahkan buyutnya kita semua santri mengenalnya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari.Â
Kakeknya yaitu KH. Wahid Hasyim adalah pelopor lahirnya Laskar Hizbullah merupakan cikal-bakal lahirnya TNI (Tentanra Nasioanal Indonesia). Kini sedang merayakan hari lahirnya sebagai benteng kokoh telah menjaga batas negara ke- 80 tahun.
Kata menggugah dari Gus Ipang Wahid
Ada satu kalimat dari Gus Ipang Wahid yang nempel di kepala saya: "Seniman adalah juga tentara penjaga batas makna". Kalimat itu sederhana, tapi jika direfleksi dalam-dalam, ia seperti mengetuk pintu kesadaran yang lama tak dibuka: bahwa makna kini sedang terancam---bukan oleh kekerasan, tapi oleh kebisingan.
Kita hidup di zaman ketika kata-kata kehilangan kedalaman. Sesuatu yang menyedihkan ialah karya seni kerap diperlakukan hanya sebagai hiburan cepat saji. Padahal, seniman sejatinya adalah benteng terakhir dari kesadaran---mereka yang saban hari berperang di ruang sunyi, mencari arti, menimbang rasa, dan menyalakan kewarasan.
Tentara Tak Berlaras SenjataÂ
Sampai di sini mari kita sepakati bahwa seniman adalah "tentara" tanpa berlaras senjata. Ia tidak membawa peluru, melainkan kata. Tidak menggenggam granat, melainkan kuas, nada, atau gores pena yang menari tanpa henti. Tapi medan perangnya sungguh nyata. Lawannya bukan manusia, melainkan kekosongan makna yang pelan-pelan menggerus nurani kita anak bangsa.
Ketika dunia digiring oleh algoritma dan logika ekonomi, seniman datang dengan kesadaran lembut: bahwa hidup bukan sekadar angka kepentingan pragmatis lagi politis, melainkan tentang rasa dan empati.
Bayangkan bila tak ada karya musisi hingga penulis melahirkan nada, puisi, teater, atau film yang menyentuh nurrani. Mungkin manusia sudah lama menjelma mesin---bekerja, menghasilkan, lalu kehilangan arah. Seniman mencegah itu terjadi.Â
Mereka menjaga agar manusia tetap bisa menangis, tertawa, dan merenung. Karena yang paling berharga dari hidup bukanlah hasil, tapi perjalanan memahami diri.