Menulislah layaknya jurnalis---tajam, lugas, berani---dan refleksikan seperti sufi---dalam, jernih, menyejukkan.
NU butuh narasi baru. Bukan sekadar berita rutin, tapi pemikiran yang hidup.
Tulisan yang menggugah, bukan hanya mengabarkan. Sebab, sejarah Islam diwarnai oleh tulisan alias peradaban ilmu pengetahuan.
Maka, wahai generasi muda, ambil pena dan menulislah. Karena dengan tulisan, kita ada. Dan dengan menulis, kita ikut merajut peradaban.
Pilihan Militan: Menjauh dari Politik?
NU dan politik---dua hal yang selalu berdampingan, tapi juga sering bersilang jalan. Kini, generasi baru dihadapkan pada pilihan: tetap bermain dalam politik atau mengambil jalan lain?
Justru menjauh dari politik bisa jadi pilihan paling militan. Mengapa? Karena perjuangan tidak selalu harus di jalur kekuasaan.
Politik praktis sering kali menggerus idealisme, sementara perjuangan yang lebih fundamental justru berada di luar sistem. Keadilan, kemaslahatan, kesejahteraan---itulah ladang perjuangan sejati.
Lihatlah mereka yang bekerja di bidang pendidikan, sosial, lingkungan, atau ekonomi. Mereka tak berada di kursi kekuasaan, tapi dampaknya nyata.
NU hari ini harus kembali ke ruhnya: mengayomi, bukan hanya berpolitik. Karena kekuatan NU sejatinya ada di umat, bukan di ruang negosiasi kekuasaan.
Soft Power NU: Keislaman dan Kebangsaan
NU selalu berbicara tentang Islam rahmatan lil 'alamin dan kebangsaan. Dua hal yang sering dianggap berbeda, padahal justru itulah kekuatan utama.
Soft power NU bukan lobi politik atau manuver partai. Soft power NU adalah nilai.