Panggilan Dari Sindoro
Setelah mendaki Gunung Prau Via Wates pada awal Agustus, bayangan Gunung Sindoro selalu ada di benak kami. Dia seperti berdiri memanggil kami untuk datang padanya.
Bayangan itu terwujud Sabtu 20 September 2025. 1,5 bulan setelah mendaki Prau. Tertunda 1 minggu dari rencana awal yang tentunya juga berdampak pada peserta yang sudah list mengikuti.
Ada yang mundur karena ada acara keluarha, ada yang mundur karena mendadak tugas.Namun ada juga yang memilih  mundur karena ketakutan akibat terlalu sering menonton Review Jalur Gunung Sindoro Via Kledung.
Belajar dari pengalaman naik Gunung Prau via Wates, yang sampai di Base Camp lebih dari jam 12.00 malam. Kali ini kami berangkat dari Jombang lebih awal. Selain agar tidak kemaleman juga untuk mengejar peraturan ketat dimana pendaftaran di BC Kledung maksimal Jam 1 Pagi.
Pendakian bersama yang hanya diikuti 14 Orang ini, meninggalkan Kota Santri lewat jam 16.00 WIB. Dengan menumpang Elf keluaran Tahun 2025 perjalanan kali ini terasa cukup nyaman dan lega. Berhenti sesekali untuk kekamar kecil dan membeli bekal untuk naik.
Walaupun lega dan longgar, AC mobil yang cukup dingin menjadi suatu permasalahan tersendiri buat kami. Terasa seperti aklimatisasi didalam kulkas berjalan. Masing-masing berusaha menutup mata, tidur walaupun sebentar. Karena pendakian akan dimulai secepatnya setelah sampai di BC Kledung.
Antrian Panjang Para TektokerÂ
Tepat pukul 11 Malam, Elf yang kami naiki sudah berada didepan Kantor Desa Kledung yang merangkap sebagai BC Pendakian. Kami terheran heran karena ternyata sudah ada antrian panjang didepan Basecamp.
Setelah mendapat parkir, saya dan beberapa orang segera melakukan registrasi. Sempat kecele ikut antrian tapi ternyata harus mengambil formulir dulu.
Saya sempat grogi dengan melihat penjaga formulir terlihat tegas, cenderung galak menghadapi pendaki-pendaki yang masih muda, seusia anak saya. Bahkan ketika briefing pun mereka memperlakukan para pendaki muda itu seperti Maba. Dicek satu persatu kelengkapannya.
Ketika tiba gailiran kami, ternyata sikapnya berubah, menunjukkan cara pengisian formulir dan bahkan juga menunjukkan parkiran Elf dengan santun, selayaknya sopan kepada orang yang lebih tua.
Selain mandatory gear yang sudah kami bawa, untuk Tektok di Sindoro ini ada kekhasan, wajib membawa Nasi Bungkus. Â
Untuk briefing semuanya harus mengikuti sambil membawa bekal masing-masing. Karena sudah yakin dengan kami,pengecekan hanya perwakilan saja. Alhamdulillah lolos dan ditandatangani, tinggal bayar simaksi.
Dalam briefing ini kami juga baru tahu ada kearifan lokal dimana Pendaki Wanita yang sedang menstruasi hanya diperbolehkan sampai di Sunrise Camp. Toleransi sampai di Watu Tatah/Pos 4 dengan catatan punya tenaga lebih sedangkan untuk naik Kawasan Puncak, dilarang sama sekali.
Aturan kearifan lokal inilah yang membuat tim kami yang perempuan kehilangan semangat. Tapi bagaimanapun juga adat istiadat harus ditaati dan pendakian harus tetap berjalan.
Kunjungan ke puncak pun juga dibatasi dari pukul 07.00 sampai 10.00 WIB. Itulah sebabnya pendakian Tektok pendaftaran maksimal Pukul 01.00 dan harus berangkat dengan naik ojek pukul 03.00 WIB.
Setelah briefing dan cek peralatan, kami mencari tempat istirahat, akhirnya kami menyewa sebuah ruangan didepan Basecamp, setelah melihat kondisi basecamp yang cukup penuh.
Dan Perjalanan Bermula
Setelah packing ulang dan"glendangan"sebentar, kami segera ikut antri di untuk naik ojek. Antrian cukup panjang, sampai di pinggir jalan provinsi. Semuanya ingin tektok Sindoro.
Sejak awal kami sengaja akan naik ojek, untuk menghemat waktu sekaligus tenaga, jarak BC ke Pos 1 cukup jauh Estimasi sekitar 1,5 jam. Ojek tidak wajib, beberapa pendaki memilih jalan kaki ke Pos 1.
Cukup lama kami menunggu ojek, karena yang mendaki cukup banyak dan waktu semakin pagi, kebijakan dari para tukang ojek semua berhenti di Pos 1 dengan tarif 25 rb/orang. Masing-masing ojek bisa mengangkut 2 orang.
Saat itu kondisi cuaca cukup menghawatirkan, karena beberapa kali kabut turun di basecamp sambil membawa air. Terasa seperti gerimis ditambah angin yang bertiup cukup kencang.
Tak terasa sekitar 1,5 jam kami menunggu antrian ojek. Setelah masing-masing mendapat tumpangan ke Pos 1, kami berkumpul untuk berdoa sebelum memulai pendakian.
Tepat pukul 02.30 kami berangkat memulai pendakian. Jalur Pos 1 ke Pos 2 berupa tanah yang cukup nyaman dikaki. Setelah berjalan 20 menit kita akan ketemu Pos ojek. Â Biasanya ojek bisa sampai disini dengan tarif 35 ribu per orang.
Dari Pos Ojek ke Pos 2 membutuhkan waktu 30 menit, jalurnya menanjak,hanya ada 1 bonus turunan tepat sebelum Pos 2. Turunan tersebut ternyata jika kondisi normal bisa naik kesitu dengan tarif 50 ribu per orang. Karena kondisi pendaki padat dan jalur lumayan licin maka ojek hanya sampai di Pos 1.
Setelah Pos 2 jalur berubah menjadi bebatuan. Di satu tempat kadang dengkul bisa ketemu dagu, karena cukup tinggi jarak batu yang harus dilalui. Tentunya ini memerlukan tenaga ekstra. Bersama dengan pendaki lainnya kami saling mendahului tapi tidak ada yang benar-benar mendahului. Karena bisa dipastikan jika menyalip juga tidak akan jauh akan kembali tersalip.
Konturnya yang cukup curam ditambah dengan kabut basah bisa membuat orang masuk angin. Dingin diluar, mandi keringat didalam jaket.
Pekatnya kabut, rapatnya hutan serta tipisnya udara membuat kami harus sering berhenti sejenak untuk menghirup nafas. Apalagi aklimatisasi yang kami lakukan tidak terlalu maksimal karena dari BC menuju Pos 1 menggunakan ojek.
Semakin keatas, kabut mulai menipis, hutan juga mulai terbuka dengan ditandai kami bisa melihat bintang gemintang di langit. Juga mulai terlihat bayangan punggungan lain yang tersorot cahaya langit.
Itu belum sampai, kami masih melihat kumpulan cahaya senter dari para pendaki diatas sana. Perjalanan masih jauh.
Break di Pos 3
Sekitar 1,5 Jam waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Pos 3. Lebih cepat 30 menit dari estimasi pendakian di peta.
Pos 3 ini tempatnya terbuka, kita bisa melihat Gunung Sumbing diseberang sana dan lautan awan ada didepan mata.
Pagi itu kami melihat Gunung Sumbing sedang bertopi, pun ketika kami melihat keatas, kepuncak Sindoro,ternyata tidak beda jauh, juga bertopi.Menandakan sedang ada badai diatas.
Cukup lama kami berhenti disini, untuk menikmati pemandangan dan menjalankan Sholat Subuh. Di Pos 3 ini ada warung yang buka di hari libur/weekend saja.
Kami melanjutkan perjalanan menuju sunrise camp yang terletak tidak jauh dari Pos 3. Ada 2 pilihan jalur, jalur lama dan baru. Karena ketidaktahuan, kami mengambil jalur lama yang ternyata cukup terjal. Kami harus merayap di bebatuan.
30 menit melewati jalur lama untuk sampai di Sunrise Camp. Karena pemandangannya sangat indah kami sering berhenti untuk berfoto-foto untuk mengabadikan kenangan.
Di sunrise camp, rombongan kami terpecah, saya kebetulan ikut rombongan kedua. Yang sebenarnya ragu-ragu untuk naik dan menunggu di Sunrisecamp saja. Setelah berdiskusi sejenak bahwa ada toleransi untuk yang menstruasi, kami setuju untuk naik sampai di Watu Tatah.
Kondisi sunrisecamp yang cukup berangin juga memaksa kami untuk naik ke Watutatah. Karena tidak mengejar ke Puncak, rombongan kedua ini berjalan dengan ritme yang santai dan lebih lambat. Kami awalnya memakai jalur lama. Baru berpindah ke jalur baru yang dari tanah.
Jalur baru ini tidak sekeras jalur lama, tapi lebih licin karena ini jalur rumput yang basah. Di jalur baru ini rombongan kedua ini kembali terpecah. 3 orang yakni mas Arys, Mbak Chia n Mbak Camel memilih untuk istirahat terlebih dahulu.
Sedangkan Saya, Mbak Evva, Mbak Atha dan Mbak Arum meneruskan untuk berjalan pelan-pelan menuju Watu Tatah. Kami sempat down kita orang-orang yang kami tanyai menjawab masih 2 jam menuju Pos 4 Watutatah.
Saya meminta rombongan yang saya kawal untuk berhenti sejenak, saya tidur sebentar, karena mata ini sudah tidak bisa diajak kompromi. Badan juga sudah lemas karena rasa mengantuk yang sangat.
Ketika bertemu kembali dengan jalur lama, itu sudah sekitar 2, 5 jam dari Sunrise camp, lebih lama 30 menit dari Estimasi.
Tim awal yang terdiri dari Mas Andi,Mas Hadi, Mas Eko, Mbak Atik, Mas Toni, Sekli dan Attila hanya butuh waktu 1,5 jam untuk mencapai Watu Tatah ini melewati jalur lama.
Perjumpaan kembali
Sesampai di Watu tatah kami bertemu dengan Tim Awal yang memutuskan untuk tidak naik ke Puncak. Kami berfoto sejenak dan dan kemudian makan nasi bungkus yang kami siapkan. Tidak terlalu lama kami berada disini, karena pemandangan yang tidak indah karena sedang kabut, beberapa dari kami mengalami gejala AMS yang ditandai dengan pusing kepala.
4 orang yang tetap naik ke Puncak, yakni Mas Andi, Mas Hadi, Sekli dan anggota termuda yang masih Kelas 9, Attila. Mengabarkan jika sudah sampai di tujuan dalam keadaan aman. Walaupun cuaca sangat berkabut dan berangin.
Kebalikan dari saat berangkat, perjalanan turun dari Watu Tatah menggunakan jalur lama yang bebatuan. Karena ada anggota perjalanan yang baru mengikuti trip di gunung 3000 ribuan, kami sedikit bersabar untuk memberikan petunjuk jalur yang harus dilewati.
Tim ketiga memberi kabar bahwa mereka tidak jadi naik tapi langsung balik menuju Base camp. Perlahan kami menyusuri jalan sekaligus menunggu Tim yang naik ke Puncak.
Cerita Para Pemuncak
Cukup lama, kami tidak bertemu dengan Tim yang naik ke puncak. Saya sangat khawatir, terjadi sesuatu dengan mereka, apalagi tadi sempat bertemu dengan dua orang anak seusia kelas 11 yang mengatakan mereka diatas tadi menolong orang yang kehilangan HP. Saya khawatir itu Si Thole.
Baru menjelang di Pos 2 mereka menyusul kami. Saya sangat gembira melihat mereka, terutama melihat Si Thole walaupun mukanya agak tertekuk dan lutut kananya over use sehingga harus memakai dekker.
Mas Hadi yang expert pendaki ini menceritakan mereka tadi lama karena ketika turun menolong seorang perempuan yang mengalami Hipotermia. Dan sialnya lagi, temannya yang menunggu kehilangan HP ketika mengambil emergency blanket.
Mereka berempat bersama pendaki lain membawa turun survivor sampai di Watu Tatah. Mereka bergantian memapah, menggendong dan memikul survivor sampai di Watu Tatah. Agak lama karena kebetulan survivor berbadan besar. Si Thole juga berinisiatif turun mencari saya di Watu Tatah untuk minta bantuan, tapi kami sudah turun duluan dan dia kembali naik untuk membantu.
Sampai di Watu Tatah, mereka masih membantu untuk memulihkan kesadaran dari survivor. Setelah survivor sadar dan ada pendaki lain yang menunggu serta Tim SAR sudah naik, mereka berempat baru turun melanjutkan perjalanan.
Sebuah pengalaman menarik terutama Si Thole, dia bisa melihat dan tahu cara menangani kondisi Hipo untuk dirinya sendiri atau orang lain.
Saya tertawa terbahak-bahak ketika Mas Hadi menceritakan Si Thole terpeleset karena Salting ketika diberi semangat oleh sekumpulan cewek-cewek. "mas hoka semangat mas hoka"kata cewek-cewek. Dan Si Thole menoleh dengan gaya cool nya sambil tersenyum dan seeeeett. Untungnya tidak apa-apa.
Kami sempat bertemu dengan Tim SAR yang sedang menuju keatas di dekat Pos 2. Mas Hadi menceritakan kondisi survivor kemudian mereka bergegas naik.
Sesampai di Pos 2 ada warung yang buka, banyak pendaki yang mau naik mampir disitu. Buah semangka dan es nya tampak sangat menggiurkan. Tapi kami lanjut karena didepan sudah terlihat ojek di Pentokan.
Saya dan beberapa orang memutuskan turun menggunakan ojek. FYI, jika turun naik ojek dari pentokan ini, nantinya wajib oper dengan ojek yang ada di Pos Ojek. Jika awalnya sendirian, di Pos Ojek digabung menjadi berdua.
Ongkos naik ojek dari pentokan ini 50 ribu satu orang sampai di Base Camp. Jalurnya sangat licin, banyak berdoa saja. Alhamdulillah selamat sampai Di Base Camp, karena mereka sudah ahlinya. Ada anggota kami yakni Mas Eko dan Mbak Atik memilih tetap berjalan sampai di Base Camp karena selain untuk mencapai batas Km yang dicapai, juga merasa ngeri naik ojek dengan medan yang sangat licin.
Pukul 14.00 kami semua sudah kembali di Base Camp. Selanjutnya bersih bersih dan melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Santri.Namun lagi-lagi perjalanan pulang ini menjadi "ujian" , karena AC elf sangat dingin dan tidak bisa dimatikan. Hingga ada guyonan "kita gak kena Hipo di Sindoro, tapi kena Hipo di dalam Elf".
Dari sini kita paham kenapa namanya Sindoro yang artinya Sang Tuan. Karena untuk menggapainya kita harus berjalan "munduk-munduk" bahkan merayap.
Setiap gunung mempunyai keunikan jalur. Setiap Gunung ada aturan. Setiap Gunung ada kearifan lokalnya. Tapi yang pasti semua gunung itu Indah. Maka kita wajib menjaga keindahannya.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI