"Saya kecewa, tentu saja. Tapi saya tahan amarah. Saya panggil mereka satu per satu, saya dengarkan alasan mereka," katanya.
Hasilnya mengejutkan. Ternyata sebagian besar anak tidak paham dampak dari perbuatannya - hanya ikut-ikutan. Dari situ beliau belajar bahwa tidak ada keputusan bijak tanpa pemahaman yang mendalam.
Peristiwa itu justru mempererat hubungan antara beliau dan para siswa. Mereka belajar tentang tanggung jawab, sementara beliau belajar tentang pentingnya kesabaran dalam mendidik.
Kini, kisah itu menjadi salah satu contoh bagaimana kesalahan bisa menjadi pelajaran yang menyatukan, bukan memisahkan.
 Menjaga Semangat di Tengah Padatnya Amanah
Mengajar sejak pagi hingga sore tentu melelahkan. Tapi Ustadz Luthfi punya cara tersendiri menjaga semangatnya agar tidak pudar.
Setiap pagi, sebelum masuk kelas, ia meluangkan waktu 15-20 menit mendengarkan ceramah motivatif dari para ustadz yang ia kagumi.
"Dari situ saya dapat energi baru. Saya catat hal-hal penting, lalu kadang saya bagikan kembali kepada anak-anak di kelas," tuturnya.
Ia juga punya kebiasaan duduk bersama siswa saat belajar atau mengerjakan tugas.
"Saya ingin mereka tahu bahwa guru pun belajar. Dari situ muncul rasa kebersamaan. Saya tidak hanya mengajar, tapi tumbuh bersama mereka," ujarnya.
Bagi beliau, semangat mengajar harus dijaga dengan kesadaran spiritual. Karena sejatinya, mendidik bukan rutinitas, tetapi ibadah.
Kisah Mengharukan di Balik Lomba Melukis
Salah satu kisah yang menunjukkan betapa lembut dan sabarnya Ustadz Luthfi adalah saat lomba melukis di sekolah.
Waktu itu, siswa yang ia daftarkan menolak ikut lomba karena malas dan tidak percaya diri. Namun Ustadz Luthfi tidak menyerah. Ia datang ke kamar siswa itu, memberi motivasi, bahkan mengantarnya langsung ke lokasi lomba.
"Awalnya dia diam saja, melukis tanpa semangat. Tapi saya terus beri ide dan dorongan. Akhirnya dia fokus, dan hasilnya luar biasa. Ia jadi juara," ujarnya bangga.