Setiap santriwati membawa kisah, karakter, dan pengalaman berbeda. Ada yang percaya diri, ada yang pemalu, ada yang cerdas secara akademik, namun kesulitan mengelola emosinya. Ustadzah Novira memandang keberagaman ini sebagai kesempatan untuk belajar satu sama lain dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang lebih dalam. "Menyentuh hati santriwati bukan tentang memberi jawaban cepat, tapi menemani mereka menemukan jawaban sendiri, sambil memastikan mereka tetap berada di jalur yang benar," ujarnya.
Lebih dari itu, amanah sebagai wali kelas juga menuntut kesadaran spiritual. Ustadzah Novira melihat setiap interaksi dengan santriwati sebagai ibadah kecil yang bernilai besar di sisi Allah. Setiap senyum yang diberikan, setiap kata penyemangat, bahkan teguran yang disampaikan dengan lembut, dianggap sebagai bentuk menanam benih kebaikan dalam hati santriwati. Menurutnya, ketika santriwati merasa dihargai, didengar, dan dicintai, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
"Bimbingan wali kelas itu seperti menyalakan lentera dalam kegelapan. Tugas saya adalah menyalakan lentera itu, lalu membiarkan santriwati melihat jalan mereka sendiri, sambil sesekali membantu menyingkirkan rintangan di depan mereka," ungkapnya dengan nada penuh rasa tanggung jawab.
Dengan pandangan yang begitu mendalam, jelas bahwa amanah wali kelas di Al-Azhar Asy-Syarif bukan sekadar pekerjaan harian. Ini adalah perjalanan jiwa, yang menuntut ketekunan, kesabaran, dan kepedulian yang tulus, agar setiap santriwati tidak hanya cerdas dalam pelajaran, tetapi juga beradab, beriman, dan siap menghadapi dunia dengan hati yang mantap.
Membangun Ikatan Emosional: Disiplin dengan Kasih Sayang
Menjaga keseimbangan antara disiplin dan kedekatan emosional adalah seni mendidik yang rumit dan penuh tantangan. Tidak semua guru mampu melakukannya dengan konsisten, karena kadang disiplin diasosiasikan dengan ketegangan, sementara kedekatan emosional dianggap mengurangi kewibawaan. Namun bagi Ustadzah Novira, prinsipnya sederhana: hadir sepenuhnya dengan hati, memahami setiap santriwati sebagai individu dengan kebutuhan, emosi, dan potensi unik.
Setiap pagi, sebelum bel masuk berbunyi, ia sudah berada di depan kelas, menyapa satu per satu santriwatinya dengan senyuman hangat dan kata-kata penyemangat. "Selamat pagi, semoga hari ini penuh berkah dan semangat," ucapnya lembut sambil menatap mata mereka. Gestur sederhana ini ternyata memiliki efek luar biasa: santriwati merasa dihargai, diperhatikan, dan siap memulai hari dengan energi positif. Menurut Ustadzah Novira, perhatian kecil bisa menjadi awal dari kepercayaan besar, dan kepercayaan inilah yang menjadi fondasi pembelajaran efektif.
Namun, perhatian dan kelembutan bukan berarti mengabaikan aturan. Ketika disiplin dilanggar, Ustadzah Novira tidak ragu untuk menegakkan aturan. Tetapi ia melakukannya dengan ketegasan yang berlandaskan kasih, bukan kemarahan. Teguran yang disampaikan selalu dengan nada menenangkan dan jelas, sehingga santriwati memahami kesalahan mereka tanpa merasa dihina atau takut berlebihan. "Menegur anak bukan berarti memarahinya. Tapi menuntunnya kembali ke jalur yang benar dengan kata-kata yang menenangkan," ujarnya.
Ia menekankan bahwa disiplin sejati bukan soal menakuti atau menghukum, tetapi menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Dari ruang kelas Sutayta Al Mahamali, para santriwati belajar bahwa aturan ada bukan untuk mengekang, melainkan untuk membimbing mereka menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Setiap konsekuensi diberikan dengan tujuan membangun karakter, bukan sekadar menegakkan kekuasaan.
Lebih jauh, Ustadzah Novira percaya bahwa kedekatan emosional memungkinkan santriwati merasa aman untuk berbagi kesulitan dan keraguan mereka. Dengan hubungan yang hangat, santriwati lebih mudah menerima nasihat, terbuka mengenai kesalahan, dan termotivasi untuk memperbaiki diri. Ia sering meluangkan waktu di luar jam pelajaran untuk berbicara santai dengan santriwati yang sedang mengalami tekanan akademik atau masalah pribadi. "Mereka bukan hanya anak didik, tapi amanah yang harus saya pandu dengan hati," ujarnya.