Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kompasiana Terapi Rendah Diri

28 Maret 2014   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="koleksi pribadi"][/caption]

Mungkin tulisan kali ini hanya tentang curhatan pribadi, tapi semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Saya bergabung dengan Kompasiana sejak 2011, tapi baru menjadi kompasianer pada akhir tahun 2013. Banyak hal yang saya temukan di sini, tentang ragam tulisan dan pribadi penulis. Tentu sulit menemukan media sosial sekeren Kompasiana ini dimana beragam profesi bisa saling bercengkrama, kadang tertawa hahahihi tanpa melihat siapa lawan komentarnya. Tak melihat umur, profesi apalagi kekayaan. Mereka menulis dan berbagi dengan kerendahan hati, meski kadang juga terpancing untuk menyerang dan melawan.

Luar biasa, itu kesimpulan saya saat ini. Setelah beberapa bulan aktif menjadi kompasianer dengan membaca banyak tulisan dan ikut menulis, saya menjadi tambah takjub. Ada exportir, politisi, dokter spesialis, dosen, TNI, Intelijen, wartawan, birokrat dan banyak lagi profesi keren yang ga saya sebutkan di sini. Belum lagi Kompasianer luar negeri dengan segala ceritanya yang selalu menarik.

Meski begitu, terlepas dari apapun profesi mereka yang menurut saya wah ternyata mereka tetap kalem dan rendah hati. Tak pernah arogan dan sok tau menolak komentar yang tidak setuju dengan tulisanya. Entah apakah mereka juga hidup di media sosial semacam Facebook atau Twitter? Yang medannya lebih terbuka dan cepat untuk menyerang.

Itulah penghuni Kompasiana yang membuat saya ga pernah bosan menjadi salah satu warganya. Sifat kerendahan hati mereka semakin meyakinkan saya bahwa orang-orang hebat selalu lebih santun. Mungkin karena mereka benar-benar hebat, jadi sampai lupa untuk bersikap sok hebat dibanding yang lain.


Ini tentu berbeda dengan yang saya temui di Facebook yang rata-rata adalah teman di dunia nyata. Dibalik diamnya, mereka membicarakan kejelekan. Respon mereka juga kebanyakan acuh, karena mereka tau betul siapa saya sang pemilik tulisan. Hehe jadi teori undur ma qoola wala tandur man qoola (lihatlah apa yang diucapkan, jangan melihat siapa yang mengucapkan) tidak berlaku bagi mereka.

Saya yang sampai 2007 silam terlihat tak pernah bisa menuliskan artikel seolah tetap belum bisa menulis. Sehingga yang terjadi adalah saat saya menulis, dikira copy-paste, dikira tulisan orang dan ragam komentar negatif lainya. Ga semua sih, tapi ada banyak.

Pernah saya menulis prediksi dan straegi duel 2 tim sepak bola, mereka bertanya tau apa saya tentang bola? Ya dulu saya memang ga pernah mengikuti berita sepak bola dan ga punya tim favorit.

Pernah saya menulis opini tentang politik dalam negeri, mereka bilang saya terlalu subyektif. Sok tau dan sok jadi pengamat. Secara formal saya memang tidak belajar jurusan politik, tapi kalau baca koran dan nonton berita politik cukup sering. Jadi saya menuliskan pendapat pribadi yang sebenarnya akan mudah dibantah jika memang salah.

Pernah juga ada yang ngedumel kalo editan saya jelek dan orang itu mencemooh saya ke teman yang ternyata lebih pro ke saya. Haha jadilah teman saya itu hanya diam mendengarkan kemudian bercerita pada saya tentang ketidak sukaanya ke orang tersebut. Ya saya jawab saja kalau saya memang ga bisa ngedit, toh saya bukan jurusan design dan hanya belajar ototidak. Karya saya pun bisa dibilang abal-abal, saya sendiri sadar. Tapi kok ya merasa kenapa harus mencaci? Tunjukkan saja kalau memang punya karya lebih bagus.

Saat saya dengan suka cita mengunggah gambar buku novel pertama yang berhasil saya selesaikan, ada juga yang bilang tulisan saya ga bagus, ga berkualitas. Ya memang, katakanlah itu tulisan sampah dan saya ga akan pernah memaksanya untuk membaca. Biarlah tulisan saya menemukan sendiri pembacanya. Apapun itu, saya tetap bangga bisa menulis novel. Toh saya juga belum pernah belajar menulis, hanya otodidak dengan modal sok bisa.

Nah kalau yang ini agak menyesakkan. Ada yang bilang kaligrafi saya jelek. Waktu itu masih tahun 2006. Saya yang berumur 16 tahun kala itu menjadi termenung dan enggan untuk berkarya lagi. Cukup lama saya fakum dan ogah menerima tugas membuat dekor atau ikut pameran.

Dari Kompasiana inilah saya belajar menjadi pribadi yang santun, meski harus kalian maklumi saya tetaplah remaja yang emosinya bisa naik turun. Hehe selama menulis di Kompasiana, saya lebih banyak menerima apresiasi dibanding caci maki. Segala cacian yang dialamatkan ke saya praktis hanya keluar dari akun kloningan yang belum menuliskan artikel.

Ada juga sih Kompasianer usil yang suka bikin onar. Sampai ada kubu tim hore dan tim cerdas cermat. Kadang saya memperhatikan, kadang juga terlewat.

Inilah Kompasiana, media sosial paling seru menurut saya meski ada juga yang merasa admin hanya mengejar rating, membiarkan dua kubu berselisih, membiarkan tulisan provokatif nangkring di TA dan ada juga yang menganggap kolom HL kadang meloloskan tulisan ga jelas (itu mungkin salah satunya punya saya, hihihi).

Tapi yang menarik adalah Kompasianer yang menurut saya top itu ga ikut terlibat mengomentari. Hebat. Apapun yang terjadi mereka tetap kalem dan fokus dengan tulisanya sendiri. Ya kecuali Mbak Ellen, meski dia ini termasuk Kompasianer top (versi saya) kadang dia juga terlibat di peperangan. Mungkin sifat ABG nya lagi muncul.

Akhirnya bisa saya simpulkan, orang yang benar-benar keren itu ga akan sibuk mengomentari orang lain jelek. Dan saya masih belajar kalem seperti mereka, meski ada komentar miring dan caci maki.

Oh iya ini curhatan terakhir di tulisan ini, ada juga yang bilang kompasianer itu orang yang ga punya kerjaan. Ungkapan yang membuat saya tertawa dan senyum-senyum sendiri dalam waktu yang lama. Kalau presiden yang sedemikian sibuknya bisa menerbitkan buku, apalagi kita yang ga sesibuk presiden? Ya kecuali mereka yang jadwalnya lebih sibuk dari presiden, hehe.

Apapun yang kita lakukan di luar pekerjaan hanyalah hobi yang menyenangkan, pilihan alternatif selain tidur, nonton TV, game atau jalan-jalan. Semoga kita tetap 'tuli' meski dikatakan ga ada gunanya menulis di rumah ini (K), karena saat pesan kita sampai pada pembaca, saya rasa itu sebuah hal yang sangat menyenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun