Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia Ketika Sebagian Gajiku Mengalir pada Mereka, Meskipun Hanya Secuil Saja

18 Desember 2020   06:30 Diperbarui: 18 Desember 2020   06:43 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi manusia yang beragama, apapun agama yang diyakini, salah satu kebaikan yang sering disampaikan dalam mimbar-mimbar keagamaan adalah Berbagi kepada sesama. Berbagi kepada sesama ini bukan hanya tentang manusia memberi pada manusia lainnya, tapi juga tentang berbagi kepada semua makhluknya. 

Begitu juga dengan diriku, sebagai orang yang beragama, berbagi, memberi dan menyantuni fakir miskin dan anak yatim piatu adalah hal yang harus dilakukan, meskipun bukan suatu kewajiban. Artinya akan lebih baik jika aku melakukan kebaikan dengan berbagi, ya minimal berbagi pada orang-orang terdekatku.

Aku anak pertama yang memiliki keluarga cukup banyak, baik keluarga dari ayahku sendiri dan juga keluarga ibuku. Jadi bisa dikatakan, aku punya banyak paman dan bibi. Memiliki keluarga yang cukup besar tentu menjadi satu kebahagiaan sendiri. Karena mempunyai keluarga yang banyak, berarti memiliki jatah rizki yang banyak pula, ya meskipun hal ini tidak sepenuhnya benar. 

Terbukti, keluargaku banyak, tapi tak semuanya hidup dalam kondisi layak, seperti halnya yang terjadi pada beberapa dari saudara ibu dan saudara ayah, hidup dalam kondisi ekonomi pas-pasan, bahkan jika ada biaya selain kebutuhan makan setiap harinya, bukan lagi dikatakan pas-pasan, melainkan justru kekurangan.

Aku melihat dan memikirkan keadaan itu, tentu hatiku terasa seperti tersayat-sayat. Terlebih lagi, ketika salah satu bibiku yang hidup dalam ekonomi kalangan bawah, mengalami sakit kronis yang butuh penanganan serius, yakni pengobatan setiap minggu karena harus cuci darah dan hal ini tentu tidaklah murah karena biaya pengobatan, perawatan dan biaya ongkos sewa mobil saat melakukan pengobatan di rumah sakit terdekat dengan jarak tempuh 30 hingga 40 menit.

Selain itu, bibi juga punya 2 anak yang harus dirawatnya ditengah Ia sedang berjuang melawan penyakit gagal ginjal akut yang dideritanya, bibi juga harus berjuang melawan stress yang dirasakan akibat sakit dan hidup pas-pasan, meskipun tidak pernah menceritakannya. Berat bukan!

Aku sebagai keponakan, tentu tak tega melihat saudara kandung ibu menderita seperti itu. Karena penderitaan bibi juga menjadi penderitaan ibu. Ya meskipun ibu menyimpan rasa derita dalam dirinya sendiri, tapi tak pelak kadang begitu terlihat jelas dari raut wajahnya yang mengkhawatirkan kondisi bibi yang sakit parah ditengah ekonomi pas-pasan dan khawatir kehabisan biaya untuk melakukan pengobatan secara reguler.

Ikhlas atau tidak, pada akhirnya aku harus membiasakan diri untuk sedikit berbagi kepada keluarga bibi, memberi sebagian dari gaji yang aku miliki. Meskipun nilainya tak seberapa, ketika aku memberi sebagian dari rizki yang aku miliki pada bibi, terlihat raut wajah senang. Tidak hanya di wajah bibi, tapi juga pada wajah nenek yang merawat bibi berjuang melawan gagal ginjalnya atau menyerah karena ketiadaan biaya dan harus kembali pada Tuhan dan semoga hal ini tidak terjadi.

Ya, aku hanya mampu melakukan itu, berbagi dari sebagian gaji yang aku terima setiap bulannya, supaya bibi, nenek dan ibu bisa sedikit menampakkan raut wajah bahagia meskipun sementara dan hanya sesekali saja setiap bulannya. 

Aku berharap suatu saat nanti, entah Tuhan akan mengabulkannya kapan dan dengan cara apa, aku bisa memenuhi semua kebutuhan pengobatan bibi dan kebutuhan sehari-hari keluarga yang hidup satu rumah dengan bibi, nenek dan dua orang anaknya. Sehingga aku bisa selalu melihat mereka semua bahagia sesering-seringnya tanpa harus menunggu pergantian bulan dan saat aku gajian saja.

Bagiku, meskipun hanya sesekali dalam satu bulan bisa melihat bibi dan nenek bahagia, itu sebuah kebahagiaan yang sudah sempurna daripada aku tak melihat kebahagiaan itu dalam waktu lama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun