Mohon tunggu...
Alamsyah Nur
Alamsyah Nur Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Sumsel Harus Jadi Filter Tumbuhnya Dinasti Politik

25 Oktober 2017   22:46 Diperbarui: 25 Oktober 2017   23:24 1969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton 1887).

Kata-kata Lord Acton diatas tampaknya masih berlaku hingga saat ini. Bahkan semakin nyata dalam konteks negara Indonesia. Kekuasaan membawa seseorang berbuat korupsi, dan kekuasaan yang besar menambah praktik korupsi semakin merajalela.

Hal itulah mengapa dinasti politik sangat dikhawatirkan. Karena dinasti politik cendrung mempraktikkan korupsi. Kita bisa belajar dari kasus dinasti politik di Kota Cilegon yang mana baru-baru ini sang Walikota Iman Ariyadi digiring KPK karena diduga melakukan praktik suap dalam kasus perizinan kawasan industri di wilayah Cilegon. Sebelumnya, ayah Iman yaitu Aat Syafaat yang juga mantan Walikota Cilegon selama dua periode dipaksa bertekuk lutut oleh KPK karena terbukti melakukan korupsi dalam kasus pembangunan dermaga trestle Kubangsari di Cilegon pada 2012 lalu.

Kemudian dinasti politik di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). KPK telah menetapkan Bupati Kukar Rita Widyasari sebagai tersangka penerimaan suap dan gratifikasi. Rita sendiri merupakan putri dari mantan Bupati Kukar sebelumnya, Syaukani. Selain Rita, KPK juga menetapkan Khairudin, ketua tim suksesnya dalam Pilgub Kalimantan Timur serta Tim 11 yang diduga memiliki kaitan dengan berbagai proyek di lingkungan Pemkab Kukar.

Kota Cilegon dan Kabupaten Kukar adalah dua contoh dari sekian daerah di Indonesia yang membangun dinasti politik. Seperti halnya di Cilegon dan Kukar, kebanyakan daerah yang membangun dinasti politik, akhirnya harus berhadap-hadapan dengan hukum karena korupsi yang dilakukannya.

Tahun 2018 ada 171 daerah di Indonesia akan kembali mengadakan pesta Pilkada. Hal ini merupakan momentum bagi daerah yang saat ini sudah dikenal dengan dinasti politiknya untuk semakin mengokohkan kekuasaannya. Salah satu daerah yang sedang membangun dinasti politik adalah pemerintah Provinsi Sumatra Selatan. Yang mana sang bapak Alex Noerdin menjabat sebagai Gubernur Sumsel dan anaknya Dodi Reza Alex Noerdin menjabat sebagai Bupati Musi Banyuasin (Muba).

Mengingat kedudukan Alex Noerdin sebagai gubernur akan berakhir pada 2018 mendatang, dan tidak bisa mencalonkan kembali, ia akhirnya memutuskan untuk mengusung Dodi Reza Alex ikut kontestasi pada Pilgub Sumsel nanti. Langkah ini tentu saja diambil Alex Noerdin untuk tetap menjaga kekuasaan dinasti politik yang selama ini dibangunnya. Alex Noerdin tak ingin Sumsel dikuasai oleh lawan politknya. Karena itu, ia mau tak mau harus memaksa sang anak bertarung pada Pilgub Sumsel mendatang.

Majunya Dodi dalam Pilgub Sumsel 2018 merupakan bukti bahwa Alex Noerdin benar-benar ingin membangun dinasti politik di Sumsel. Lalu mengapa ia begitu ngotot mendirikan dinasti politik? Tentu saja untuk mengamankan dan menguasai seluruh sumber daya politik dan ekonomi di Sumsel. Alex Noerdin menyadari tanpa kekuasaan politik, ia tak akan memiliki kekuatan untuk mengusai segala bisnis di daerahnya.

Untuk memenangkan anaknya menjadi Gubernur pada Pilkada Sumsel mendatang, tentu Alex Noerdin akan melakukan segala cara, bahkan bukan tidak mungkin tudingan Sumit terkait penggunaan dana hibah untuk kampanye yang dilakukannya pada Pilgub Sumsel 2013 yang lalu bisa terulang.

Saat itu, setelah pilkada selesai pihak berwenang langsung melakukan penyelidikan terhadap Alex Noerdin terkait dugaan penyalahgunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumatera Selatan oleh Alex Noerdin. Berdasarkan penyelidikan KPK, Alex selaku gubernur petahana dianggap menyalahgunakan APBD Sumsel untuk kepentingan kampanye. Berdasarkan fakta persidangan, ada bukti aliran dana bantuan sosial kepada masyarakat dan organisasi sosial. Pemberian itu berdasar pada keputusan Gubernur Sumsel tentang penerimaan hibah dan bantuan sosial dalam APBD tertanggal 21 Januari 2013 dengan anggaran Rp 1,492 triliun.

Majelis hakim menilai pemberian dana hibah itu tidak wajar, tidak selektif, dan terkesan dipaksakan menjelang pelaksanaan pilkada. Pemanfaatan APBD antara lain digunakan untuk pembelian sepeda motor 1.500 unit kendaraan operasional roda dua di tahun anggaran 2013 yang diberikan kepada petugas pembantu pencatat nikah (P3N) di Sumatera Selatan senilai Rp 17,85 miliar. Motor tersebut digunakan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kota Palembang, dan Kota Prabumulih. Selain itu, ada juga pembagian sembako di Kecamatan Kertapatih Kota Palembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun