Sementara itu, Marc H. Ellis dalam karyanya Toward a Jewish Theology of Liberation (1987) menyebut tindakan militer Israel sebagai bentuk "pengkhianatan profetis". Istilah ini mengacu pada penyimpangan dari tradisi kenabian Yahudi yang menekankan tiga nilai inti: kasih (hesed), keadilan (tzedek), dan perdamaian (shalom). Dalam pandangan Ellis, Israel modern telah menukar spiritualitas kenabian dengan nasionalisme politik, sehingga kehilangan dimensi moral yang seharusnya menjadi dasar eksistensinya sebagai bangsa beriman.
Sementara Ilan Papp, sejarawan Yahudi asal Israel, menyoroti bagaimana negara menggunakan sejarah penderitaan Holocaust untuk membenarkan kekerasan baru terhadap bangsa lain. Papp menyebut hal ini sebagai "politik ingatan yang selektif", di mana trauma masa lalu dijadikan legitimasi moral untuk menindas pihak lain.
Kritik para pemikir ini memperlihatkan bahwa persoalan Israel bukan hanya soal politik atau militer, melainkan juga krisis spiritual dan moral dalam tubuh Yudaisme itu sendiri. Pikuach Nefesh yang menempatkan penyelamatan nyawa sebagai nilai tertinggi, telah diabaikan dan digantikan oleh logika kekuasaan yang menormalisasi kekerasan. Dengan demikian, tindakan militer Israel tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menodai fondasi teologis agama mereka sendiri. Prinsip yang seharusnya menjaga kehidupan kini menjadi saksi bisu atas hilangnya nurani kemanusiaan di bawah bayang-bayang politik dan perang.
3. Etika Agama dalam Konteks Pemerintahan Israel
Israel secara konstitusional dikenal sebagai "negara Yahudi dan demokratis." Namun dalam praktiknya, kedua prinsip ini sering berkonflik. Pemerintah Israel menjadikan Yudaisme sebagai identitas nasional, tetapi bukan sebagai dasar moral atau hukum etika universal. Nilai-nilai agama sering kali digunakan secara selektif, lebih sebagai alat legitimasi politik daripada pedoman moral.
Dalam struktur kenegaraan, hukum agama (Halakhah) tidak secara langsung dijadikan dasar kebijakan publik kecuali dalam urusan pernikahan, keagamaan, dan ritual. Ketika menyangkut kebijakan militer dan keamanan, pemerintah lebih mengedepankan prinsip realpolitik dan keamanan negara (national security). Dengan demikian, Pikuach Nefesh yang seharusnya menjadi dasar moral bagi perlindungan kehidupan justru dikalahkan oleh logika pertahanan negara yang agresif.
Ketegangan antara nilai teologis dan realitas politik memperlihatkan adanya pergeseran moral dalam interpretasi ajaran Yahudi di level negara. Etika yang seharusnya menjadi dasar kemanusiaan berubah menjadi pembenaran ideologis bagi kekerasan struktural. Dalam hal ini, Pikuach Nefesh mengalami "sekularisasi moral," yakni kehilangan makna sakralnya karena disubordinasikan oleh kepentingan politik nasionalis.
Beberapa rabbi dan akademisi Yahudi, seperti Rabbis for Human Rights, telah mengecam distorsi ini. Mereka menilai bahwa Israel telah menyelewengkan nilai-nilai agama menjadi alat pembenaran bagi tindakan yang justru mengancam kehidupan manusia. Dalam pandangan mereka, negara Israel telah gagal menjadikan Yudaisme sebagai kekuatan moral yang membimbing kebijakan publik. Etika agama yang seharusnya berperan sebagai "hati nurani bangsa" kini hanya menjadi simbol politik tanpa substansi spiritual.
Kesimpulan
Pikuach Nefesh merupakan fondasi utama etika dalam Yudaisme yang menempatkan kehidupan manusia sebagai nilai tertinggi. Namun, dalam praktiknya, militer Israel sering melanggar prinsip ini melalui tindakan kekerasan yang menyebabkan kematian warga sipil atas nama keamanan nasional. Pelanggaran ini bukan hanya kesalahan moral, tetapi juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap Imago Dei, citra Tuhan dalam setiap manusia.
Selain itu, pemerintah Israel telah menempatkan etika agama dalam posisi subordinat di bawah logika kekuasaan politik. Yudaisme tidak lagi menjadi panduan moral, melainkan instrumen identitas nasional yang manipulatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa militer Israel telah melanggar etika agama Yahudi itu sendiri. Reaktualisasi Pikuach Nefesh menjadi urgensi moral bagi bangsa Israel untuk kembali menegakkan nilai kemanusiaan universal yang diajarkan oleh Yudaisme sejati bahwa menyelamatkan satu kehidupan berarti menyelamatkan seluruh dunia.