Pendahuluan
Dalam tradisi Yudaisme, etika kehidupan manusia menempati posisi yang sangat tinggi. Salah satu prinsip etika yang paling fundamental  dalam ajaran Yahudi adalah Pikuach Nefesh, yaitu kewajiban untuk menyelamatkan kehidupan manusia di atas segala hukum agama lainnya. Prinsip ini menjadi cerminan nilai kemanusiaan universal yang berakar pada kepercayaan bahwa setiap manusia diciptakan menurut Imago Dei (citra Tuhan).
Namun, dalam realitas politik kontemporer, terutama dalam konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina, nilai luhur ini sering kali diabaikan. Militer Israel kerap melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan semangat Pikuach Nefesh, dengan dalih keamanan nasional.
1. Makna Teologis dan Filosofis Pikuach Nefesh
Secara etimologis, Pikuach Nefesh berasal dari bahasa Ibrani yang berarti "menyelamatkan kehidupan". Dalam Mishnah Sanhedrin 4:5 disebutkan, "Barangsiapa menyelamatkan satu nyawa manusia, seakan-akan ia menyelamatkan seluruh dunia". Prinsip ini menunjukkan betapa tinggi nilai kehidupan manusia dalam teologi Yahudi.
Dalam ajaran Yahudi, Pikuach Nefesh adalah prinsip yang mengajarkan bahwa menyelamatkan nyawa manusia lebih penting daripada menaati hukum agama. Karena itu, seseorang boleh melanggar aturan-aturan agama seperti larangan bekerja pada hari Sabat atau pantangan makanan tertentu jika hal itu dilakukan untuk menyelamatkan hidup seseorang. Misalnya, jika ada orang sakit parah pada hari Sabat, maka mengendarai mobil atau menyalakan alat medis (yang biasanya dilarang) menjadi boleh, bahkan wajib, demi menyelamatkan nyawanya. Prinsip ini menegaskan bahwa kehidupan manusia memiliki nilai tertinggi di mata Tuhan.
Namun, Pikuach Nefesh memiliki tiga pengecualian besar yang tidak boleh dilanggar walau untuk menyelamatkan nyawa sekalipun. Pertama, Avodah Zarah (penyembahan berhala), yaitu larangan untuk menyembah selain Tuhan yang Esa. Kedua, Retzach (pembunuhan), yaitu larangan untuk membunuh orang lain dengan alasan apa pun, karena dalam pandangan Yahudi semua nyawa manusia sama berharganya. Ketiga, Arayot (hubungan seksual terlarang), yang mencakup perzinaan, inses, dan hubungan yang dilarang oleh hukum Taurat.
Ketiga larangan ini dikenal dengan prinsip "Yehareg ve'al ya'avor" yang berarti "lebih baik mati daripada melanggarnya". Artinya, seseorang lebih baik kehilangan nyawanya sendiri daripada menyelamatkan diri dengan cara yang merusak kesucian iman atau melanggar nilai kemanusiaan.
2. Kritik Teolog dan Pemikir Yahudi terhadap Kekerasan Negara Israel
Sejumlah teolog dan pemikir Yahudi progresif seperti Judith Butler, Marc H. Ellis, dan Ilan Papp menilai bahwa Israel telah gagal mempertahankan integritas moral Yudaisme dalam praktik politik dan militernya. Butler, dalam karyanya Parting Ways: Jewishness and the Critique of Zionism (2012), menekankan bahwa etika Yahudi sejati bersifat relasional, yakni menuntut empati dan tanggung jawab terhadap penderitaan orang lain termasuk mereka yang berada di luar komunitas Yahudi. Menurut Butler, identitas Yahudi seharusnya diwujudkan melalui solidaritas kemanusiaan universal, bukan melalui eksklusivitas etnis atau kekerasan negara.