Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki peran penting sebagai otoritas keagamaan dalam memberikan fatwa yang sekaligus menjadi panduan moral pagi seluruh umat Islam. Salah satu instrumen utama MUI adalah fatwa, yakni pendapat hukum Islam yang bersifat normatif dan memberikan arahan moral. Fatwa MUI bukanlah hukum positif yang memiliki kekuatan memaksa seluruh umat Islam, akan tetapi lebih bersifat rekomendatif.
Fatwa hadir sebagai panduan moral dan religius yang bertujuan memberikan arah dalam mengambil keputusan, terutama dalam persoalan yang tidak diatur secara rinci dalam hukum negara. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap fatwa bergantung pada kesadaran individu dan komunitas Muslim, bukan pada sanksi hukum yang mengikat.
Reposisi Masyarakat terhadap Fatwa Sound Horeg
Di tengah perkembangan sosial modern, fatwa tidak selalu diikuti secara konsisten. Masyarakat sering kali memposisikan ulang (reposisi) fatwa sesuai dengan kepentingan dan kenyamanan mereka, menjadikannya sekadar pilihan moral, bukan pedoman yang mengikat. Fenomena ini tampak jelas dalam perbandingan antara fatwa haram sound horeg dan fatwa haram rokok.
Pada 2025, MUI Jawa Timur mengeluarkan Fatwa No. 1 Tahun 2025 tentang keharaman sound horeg yang menimbulkan mudarat, seperti gangguan kesehatan, kerusakan lingkungan, dan kemaksiatan. Fatwa ini lahir dari keresahan masyarakat terhadap fenomena kebisingan yang ekstrem. Reaksi publik pun cukup besar, karena masalah ini dirasakan secara langsung di tengah kehidupan sosial. Sebaliknya, fatwa haram rokok yang sudah ada sejak 2009 cenderung diabaikan, meskipun bahaya rokok bagi kesehatan terbukti secara medis sebagaimana dampak negatif sound horeg. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak melihat fatwa sebagai pedoman konsisten, melainkan hanya mengikutinya ketika sesuai dengan kenyamanan atau keresahan yang mereka alami sesuai dengan kapasitas pengetahuan dan kesadaran mereka sendiri.
Perbedaan penerimaan ini tidak terlepas dari faktor hukum. Fatwa MUI bukan hukum positif. Negara Indonesia menganut sistem hukum nasional yang terpisah dari fatwa keagamaan. Sound horeg tetap legal selama tidak melanggar ketentuan undang-undang, seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PP No. 70 Tahun 2016 yang mengatur ambang batas kebisingan. Demikian pula, rokok tetap legal karena dilindungi oleh regulasi pemerintah dan kepentingan ekonomi yang besar. Tanpa dukungan regulasi formal, fatwa hanya menjadi panduan moral tanpa kekuatan hukum yang mengikat.
Legalitas dan Tantangan Implementasi Fatwa
Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI memiliki kedudukan sebagai pedoman moral, bukan hukum positif yang mengikat secara legal. Dalam sistem hukum Indonesia, fatwa tidak otomatis menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan. Akibatnya, implementasi fatwa sepenuhnya bergantung pada kesadaran masyarakat dan dukungan dari pihak pemerintah. Hal ini terlihat pada kasus sound horeg, di mana fatwa keharaman yang dikeluarkan oleh MUI Jawa Timur pada 2025 tidak serta-merta membuat penggunaan sound horeg dilarang secara hukum. Selama tidak melanggar ketentuan undang-undang, seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PP No. 70 Tahun 2016 tentang ambang batas kebisingan, praktik sound horeg tetap legal.
Tantangan utama dalam implementasi fatwa terletak pada kesenjangan antara norma moral keagamaan dan norma hukum negara. Tanpa dukungan regulasi formal, fatwa cenderung hanya menjadi wacana moral yang diperdebatkan tanpa memiliki kekuatan memaksa. Dalam kasus rokok, misalnya, meskipun MUI telah mengeluarkan fatwa haram sejak 2009, rokok tetap legal karena dilindungi oleh kepentingan ekonomi dan pajak negara. Fenomena serupa bisa terjadi pada fatwa sound horeg, di mana masyarakat lebih memilih untuk mengikuti kenyamanan atau kepentingan mereka sendiri, terutama jika tidak ada konsekuensi hukum yang jelas.
Tantangan lainnya adalah kurangnya koordinasi antara MUI dan pemerintah dalam mengintegrasikan nilai-nilai moral keagamaan ke dalam kebijakan publik. Misalnya, peraturan teknis seperti pembatasan volume suara, jam operasional, atau pengaturan area khusus untuk penggunaan sound system yang besar dapat menjadi solusi konkret yang mendukung fatwa MUI. Tanpa sinergi ini, fatwa akan sulit diimplementasikan secara efektif karena tidak ada instrumen hukum yang mengawalnya.
Â
Pendekatan Hukum Fikih yang Variatif Sebagai Solusi terhadap Sound Horeg
Dalam merespons fenomena sosial seperti sound horeg, MUI sebenarnya dapat menggunakan pendekatan hukum fikih yang lebih variatif, tidak sekadar menetapkan vonis "haram". Dalam tradisi hukum Islam, penentuan hukum tidak hanya terbatas pada halal dan haram, tetapi juga meliputi kategori wajib, sunnah, makruh, dan mubah, yang semuanya bergantung pada niat, kondisi, serta dampak yang ditimbulkan.
Misalnya, sound horeg dapat dinilai haram jika jelas menimbulkan mudarat, mengganggu kesehatan, atau menjadi sarana kemaksiatan. Namun, ia bisa dinilai makruh jika hanya sekadar mengganggu ketertiban dalam skala kecil. Sebaliknya, penggunaannya bisa mubah jika tidak berdampak negatif, seperti di lokasi terpencil atau acara terbatas dengan pengaturan volume wajar. Bahkan, jika sound horeg dimanfaatkan untuk tujuan positif seperti dakwah, kegiatan sosial, atau edukasi masyarakat, penggunaannya dapat bernilai mandub (disunnahkan) karena menghadirkan kemaslahatan.