Mohon tunggu...
Alaek Mukhyiddin
Alaek Mukhyiddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis Ahlusunnah Wal Jamaah

adalah penggagas Jam'iyah sastra di pondok pesantren Sidogiri, sekaligus menjadi ketua perdananya. saat ini menjabat sebagai pemimpin Redaksi Majalah Nasyith. ia juga aktif sebagai aktivis ahlusunah wal jamaah dan menjabat sebagai anggota tim fatwa Annajah Center Sidogiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dekapan Cinta untuk Adinda

19 September 2019   11:11 Diperbarui: 19 September 2019   11:18 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kehidupanku menjadi tidak menentu saat ayah dan ibuku memilih untuk hidup sendiri-sendiri. Barulah saat ini aku mengerti akan pentingnya kebersamaan keluarga. Aku kehilangan adikku yang memilih untuk hidup dengan ibuku. 

Aku kehilangan adik yang menjadi mentari di masa kecilku. Teringat olehku saat dimana kami saling lempar bantal sebelum tidur atau bermain pistol air yang menbuat pakaian kami basah kuyup. Aku ingin kembali pada masa lalu, di mana kami sering bertengkar, namun juga penuh canda tawa. 

Biarlah aku terlihat menghakimi waktu karena buat apa harus ada masa depan jika masa lalu jauh lebih membahagiakan. Dan sekarang aku ingin memberikan cinta murniku untuk adik yang kusayang, untuk adik yang selalu kucinta sekaligus yang sering kugoda. Bukankah cinta itu bukan tentang siapa dengan siapa. Namun semua orang bisa meluapkannya pada orang yang mereka sayangi meski itu bukan pada kekasih hati.

***

Kini aku duduk di bangku SMA, di salah satu sekolah ternama di kotaku. Aku tumbuh menjadi pemuda yang cuek dan lebih suka buku ketimbang nongkrong di warung. Tak peduli dengan gaya hidupku, aku tetaplah nyaman dengan apa yang ada didiriku. Tak pernah ada yang mengusik hariku, hingga aku baru tahu bahwa orang yang kurindu satu sekolah denganku. 

Dan itu adalah dirimu, adik kesayanganku. Saat itu kau baru duduk di kelas 2 SMP. Aku selalu berusaha untuk bertegur sapa denganmu, namun sayang yang ku lihat dari matamu hanya gelora kebencian. Barang kali karena kamu masih kecewa atas keputusanku meninggalkanmu bersama Ibu. Aku dapat maklum karena ketika itu kamu masih berumur 12 tahun. 


Sebuah umur yang masih tak mengerti akan indahnya berbagi. Sebuah umur yang tak bisa memungkiri pahitnya ditinggal keluarga yang dicintai. Meski masing-masing dari aku dan ayah punya alasan yang tak bisa kamu mengerti. Segitu marahnya dirimu saat itu, sehingga ketika rani-temanmu bertanya perihal diriku kamu malah menjawab "Dia bukan siapa-siapaku" .

***

 Aku tahu tentang dirimu yang tak suka pelajaran matematika mulai dari SD, hingga membuat malamku hilang saat kamu punya PR dari gurumu. Namun sekarang tak kulihat lagi mata penuh manja itu merajuk, yang kuterima hanya sifat dingin ketika pada waktu istirahat aku menawarimu untuk belajar bersama-sama membahas apa yang tak kamu paham. 

Kaupun bingung saat tugas mengerjakan soal matematika telah selesai Dengan sendirinya, padahal waktu itu kamu meninggalkanku dengan luapan kemarahan. Dan kamu tak sadar bahwa bukumu tertinggal di meja taman.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun