Hujan sore membasahi jendela kamarku, menciptakan jejak-jejak air yang turun perlahan seperti air mata. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil menatap pantulan diriku di cermin yang buram. Sudah tiga hari sejak Rizki memutuskan hubungan kami. Tiga hari yang terasa seperti tiga tahun.
"Aku tidak bisa lagi," kata Rizki waktu itu dengan suaranya yang gemetar. "Maaf, tapi aku butuh sesuatu yang... berbeda."
Berbeda. Kata itu terus bergema di kepalaku. Berbeda dalam hal apa? Apakah kehadiranku tak cukup memberi warna di hidupnya?
Ini bukan pertama kalinya hatiku hancur. Sepanjang hidup, aku telah jatuh cinta berkali-kali. Pertama kali pada Andi, teman kuliah yang tersenyum hangat namun akhirnya memilih orang lain, ia berselingkuh. Lalu ada Budi, yang mencintaiku dengan tulus selama dua tahun sebelum keluarganya memaksanya menikah dengan orang lain. Dan yang terakhir ini Rizki, yang kupikir hubungan kami ini akan sampai ke pelaminan.
Setiap kali jatuh cinta, aku selalu merasa seperti kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong. Namun, setiap kali juga aku kembali terluka, mungkin memang beginilah jalannya hidupku.
Hari ini aku memutuskan untuk keluar rumah, sekadar untuk melupakan Rizki dan menenangkan pikiran. Kafe di sudut jalan menjadi tujuanku, tempat yang biasa kupilih ketika ingin menyendiri. Aku selalu memesan kopi hitam dan duduk di sudut yang paling sepi. Mencoba meredam gelisah yang sejak lama bergelayut di dada. Tapi justru di sanalah, tanpa niat apa-apa, pandanganku tertumbuk padanya. Ada seseorang yang mampu meredam pikiranku.
Dia duduk tidak jauh dariku, sedang membaca bukunya dengan serius. Rambut ikal yang panjang jatuh menutupi sebagian wajahnya, ketika angin kencang dari kipas angin kafe menggerakkannya, aku bisa melihat senyum tipis yang mengembang di bibirnya. Senyuman yang begitu damai, membuat kedua mataku ini tidak bisa mengalihkan pandangan.
Ketika dia mengangkat kepala, mata kami bertemu secara tidak sengaja, jantungku sekonyong-konyong berdetak dengan cepat. Bukan seperti detak jantung ketika aku jatuh cinta pada pria-pria sebelumnya. Ini berbeda. Lebih tenang namun lebih dalam.
Dia tersenyum lagi padaku, senyum sederhana yang entah bagaimana membuatku merasa hangat. Aku membalasnya dengan gugup, lalu cepat-cepat menunduk berpura-pura fokus pada kopi yang sudah dingin. Waktu seakan berhenti sejenak, memberi ruang bagi harap yang berdebar.
Hari-hari berikutnya, aku sering kembali ke kafe itu dengan harapan bisa melihatnya lagi. Kadang dia ada, kadang tidak. Ketika dia ada, kami hanya saling tersenyum dari kejauhan. Tidak ada yang benar-benar berani memulai percakapan.