Sedetik aku melirik kawanku yang masih sibuk dengan gadget di tangannya, ia karyawan jaringan internet di Malang Jawa timur, dimana aku berada sekarang, sementara suara lagu Iwan Fals terus terdengar dari speaker aktif  yang kami nyalakan.
Aku memalingkan pandangan, ikan koi di dalam kolam sebelah kanan ku berputar-putar seperti tidak takut terusik, tenang mereka damai berenang tidak seperti orang-orang  di negaraku- Aku hirup kembali kopi pahit ku, menikmati kopi Surabaya, lalu jemariku kembali merangkai hurup satu demi satu untuk mendapatkan kalimat-kalimat yang mewakili setiap lembaran hidupku.Â
Lembaran  itu kini seperti sebuah lukisan yang ada di hadapanku, seakan semua orang bisa melihatnya tapi tidak semua memahami makna lukisan itu.
Aku memulai kembali :
"Assalamualaikum, Ustadz."
"Waalaikumsalam... iya, masuk."
Seorang sipir senior muncul. Wajahnya serius. "Ustadz, ada yang mau ketemu di ruang Kalapas."
Aku bangkit, keluar bersamanya. dalam hati aku bergumam, siapa malam-malam ingin bertemu denganku? Ini tidak biasa.
Langkahku terhenti sejenak di halaman kantor Kalapas. Beberapa anggota Densus 88 berdiri berjajar, lengkap dengan senjata laras panjang, posisi siap, tatapan tajam. Jarak mereka terukur, tatapan mereka tajam, tidak ada mata yang berkedip, sekilas aku melihat jari telunjuk mereka dalam posisi siap di samping steger senapan mereka- sepertinya angin berbisik di telingaku "hati-hati".
Aku dan sipir melewati mereka, masuk ke ruang Kalapas. Di dalam, suasana tak kalah tegang. Kalapas duduk di sudut ruangan. Seorang perwira yang aku kenal berdiri, bersama tiga anggota Densus dengan senjata siap di gunakan dan Laras pendek tampak di pinggang mereka- lengkap.