Mohon tunggu...
Akmal Sjafril
Akmal Sjafril Mohon Tunggu... -

Penulis lepas, blogger, peminat wacana pemikiran Islam, peneliti INSISTS, wirausahawan dan maniak basket.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karena Semua Butuh Bimbingan

27 Agustus 2016   12:06 Diperbarui: 27 Agustus 2016   12:58 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu saja kita tak mungkin bicara soal Islam tanpa mengaitkannya dengan Qur’an dan Sunnah, dalam hal apa pun. Akan tetapi, bahkan di hadapan kedua bacaan terbaik itu pun, kita tetap membutuhkan bimbingan. Keduanya bukanlah kalimat-kalimat biasa yang dapat dipahami dengan mudah, disebabkan oleh kedalaman kandungan maknanya

Jika kita membuka buku-buku ‘Ulumul Qur’an, kita akan melihat bahwa menafsirkan Qur’an sama sekali bukan perkara mudah. Jangankan orang awam, para ulama pun tidak memiliki kapasitas yang sama dalam urusan ini. Begitu banyak ilmu yang harus dikuasai terlebih dahulu sebelum kita diperbolehkan menafsirkan Qur’an sendiri. Begitu pun, para ulama besar masih sangat berhati-hati dalam melakukannya.

Kalau kita menengok sedikit ke kedalaman ilmu-ilmu Hadits, kita juga akan menemukan situasi yang tidak kalah kompleksnya. Hal paling penting dalam ilmu Hadits adalah menentukan keshahihan suatu hadits. Jika suatu hadits bernilai dha’if, maka ia tidak lantas dibuang begitu saja, karena para ulama bisa menerima penggunaan hadits dha’if dengan sejumlah batasan ketat. Bahkan ketika kita berhasil menemukan hadits yang shahihsekalipun, masih ada kemungkinan munculnya masalah, sebab ada sejumlah hadits shahihyang sekilas terlihat bertentangan.

 

Di luar itu sea, meski tentu saja Qur’an dan Sunnah harus dijadikan rujukan utama, namun pada kenyataannya fiqih tidak hanya dibangun dari keduanya. Sebab, dalam hal-hal tertentu memang dibutuhkan ijtihad. Pembukuan Qur’an menjadi mushhaf yang kita kenal sekarang adalah sebuah ijtihad, demikian juga penelitian keshahihan hadits dengan berbagai kriterianya adalah ijtihad. Jadi, sadar atau tidak, ketika mempelajari Qur’an dan Sunnah, pada saat itu kita sudah menggunakan produk-produk ijtihad.

Persoalannya, pendidikan adalah sebuah proses yang tak mungkin diabaikan. Tidak ada orang yang bisa menjadi ahli dalam suatu bidang dalam waktu semalam. Kalau pun yang ada di hadapan kita adalah ayat Al-Qur’an dan hadits shahih yang dapat dipastikan kebenarannya, belum tentu kita memiliki cukup kapasitas untuk menafsirkan dan mengaplikasikannya dengan benar. Sebelum kita berada di jajaran para mujtahid, sebaiknya tidak bersikap setara dengan nama-nama besar itu. Para imam madzhab, misalnya, adalah ulama-ulama terbesar yang tidak diragukan lagi pemahamannya akan Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, meskipun ber-madzhab tidaklah wajib, namun sangatlah absurd jika kita menyerukan kembali pada Qur’an dan Sunnah namun mencelamadzhab-madzhab tersebut.

Di sinilah pentingnya tarbiyah. Tanpa proses yang benar, ‘buku rujukan dan acuan kurikulum’ yang benar pun belum tentu bermanfaat. Untuk belajar dari buku pegangan, kita butuh guru yang berkompeten. Demikian pula untuk memastikan kurikulum yang sudah rapi bisa dijalankan hingga tepat sasaran, dibutuhkan guru yang berkompeten pula. Seorang murid harus menjaga adab sesuai posisinya sebagai murid, bahkan seorang guru pun haruslah memelihara adab sesuai kapasitas keilmuannya, sebab guru di sekolah bukanlah pemilik ilmu tertinggi di kolong langit. Dari proses pendidikan inilah kita mengenal adab.

Hal sebaliknya terjadi jika kita memegang Qur’an dan Sunnah, memiliki komitmen untuk berpegang teguh padanya, namun bersikap bagai mujtahid dengan mengabaikan ‘rantai keilmuan’. Persoalannya sederhana saja: kita belajar Islam dari generasi terdahulu. Oleh karena itu, sangatlah absurd jika orang di jaman sekarang mempelajari Islam tanpa memelihara adab kepada generasi sebelumnya, atau para ulama terdahulu. Jika hal ini dibiarkan, maka akan muncul generasi seperti Khawarij yang keblinger karena mudah mengkafirkan sesama Muslim lantaran menggunakan dalil-dalil tanpa ilmu. 

Tidak tanggung-tanggung, yang mereka cela dahulu adalah para sahabat Nabi saw. Jika para sahabat mereka cela, sedangkan mereka adalah orang-orang yang pernah hidup bersama Nabi saw, lantas mereka belajar Islam dari siapa? Hal yang sama juga terjadi pada kalangan Rafidhah atau yang kini kita kenal dengan nama Syi’ah.

Jika kaum Khawarij dianggap kaku dalam beragama, maka di sisi lain ada juga yang terlalu ‘luwes’. Di jaman sekarang, kelompok Islam liberal bisa dimasukkan ke dalam kategori ini. Mereka membenarkan ijtihad, namun tidak memelihara adab. Karena tidak beradab, maka tidak memahami posisi diri, sehingga yang paling awam pun nekad ber-ijtihad, sedangkan yang benar-benar mujtahid malah dilecehkan. Menurut saya, baik yang berciri Khawarij maupun yang liberal sama saja sumber penyakitnya, yaitu tidak memelihara adab. Itulah akibatnya jika proses pendidikan tidak diikuti dengan baik.

Meski demikian, ada juga perbedaan tajam di antara keduanya. Kaum Khawarij, dengan segala kekeliruannya yang sangat fatal, tidak dianggap kafir. Motif mereka adalah menjadikan Qur’an dan Sunnah sebagai acuan, hanya saja ilmu yang mereka miliki tidaklah memadai. Sangat jauh berbeda dengan kaum liberalis yang menganggap Qur’an tidak suci, bahkan dongeng, atau nekad mengkritik Nabi saw dan merendahkan para sahabat beliau. Tidaklah berlebihan kiranya jika kita mengatakan bahwa ketika seorang liberalis membahas makna Qur’an, sebenarnya ia hanya tengah memperjuangkan kepentingan sesaat saja, sebab ia tak benar-benar beriman padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun