Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waspada Intoleransi dalam Dunia Pendidikan

7 Mei 2023   05:43 Diperbarui: 7 Mei 2023   06:46 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini dunia pendidikan Indoenesia masih memiliki "PR" tentang tiga dosa yang menyangkut kekerasan. Yaitu masih adanya kasus perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi. Kecenderungan intoleransi dirasakan kian menguat di kalangan anak-anak dan remaja. 

Situasi ini mengundang keprihatinan kita dengan bertanya: mengapa semua ini terjadi? Apa yang perlu diperhatikan di dunia pendidikan kita, baik di tingkat dasar maupun menengah, terutama di sekolah-sekolah negeri yang ditengarai menjadi salah satu ladang subur bertumbuhnya benih-benih intoleransi. Mengingat sekolah-sekolah negeri, sejatinya adalah sekolah yang mengedepankan semangat kebersamaan dan solidaritas dalam keberagaman.

Sangat miris tatkala kita mendengar ada anak yang kemudian memutus tali pertemanan dengan temannya, setelah dia mengetahui latarbelakang keagamaan temannya itu. Atau, ada siswa yang tidak mau menerima atau memilih ketua OSIS dari teman-teman yang berbeda keyakinan dengannya. Apalagi, bila hal tersebut mendapat peneguhan berupa dukungan dari guru-guru mereka, yang secara tidak sengaja membiarkan anak-anak melakukan praktik-praktik semacam itu. Lebih menyedihkan lagi, jika guru-guru melakukan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda agama dan keyakinan.

Dilansir dari medcom.id, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti yang juga Komisioner KPAI periode 2017-2022 menyampaikan Catatan FSGI Soal 3 Dosa Besar Dunia Pendidikan Sepanjang Tahun 2022.

FSGI mencatat sejak 2014 sampai 2022, kasus intoleransi di satuan pendidikan, seperti pelarangan peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala sebanyak 6 kasus (2014-2022); pemaksaan (mewajibkan) peserta didik menggunakan jilbab/kerudung sejumlah 17 kasus (2017-2022); diskriminasi kesempatan peserta didik dari agama minoritas untuk menjadi Ketua OSIS ada 3 kasus (2020-2022); dan kewajiban salat dhuha sehingga sejumlah peserta didik perempuan harus membuka celana dalam untuk membuktikan benar sedang haid/menstruasi sejumlah 2 kasus (2022).

Untuk kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan sampai pada proses hukum pada 2022 mencapai 17 kasus. Terjadi penurunan satu kasus dari tahun sebelumnya yang berjumlah 18. Korban berjumlah 117 anak dengan rincian 16 anak laki-laki dan 101 anak perempuan. Sedangkan, pelaku total berjumlah 19 orang yang terdiri dari 14 guru, 1 pemilik pesantren, 1 anak pemilik pesantren, 1 staf perpustakaan, 1 calon pendeta, dan 1 kakak kelas korban. Adapun, rincian guru yang dimaksud, yakni guru pendidikan agama dan pembina ekskul, pembina OSIS, guru musik, guru kelas, guru ngaji, dan lainnya. Dari total 19 pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan, 73,68 persen berstatus guru.

Untuk kasus kekerasan fisik dan pembullyan masih terus terjadi di satuan pendidikan oleh pendidik dengan dalih mendisiplinkan. Apabila merujuk pada kasus-kasus perundungan yang terjadi sepanjang 2022, alasan guru mendisiplinkan dengan kekerasan yaitu peserta didik ribut saat di kelas, siswa tidak mengembalikan buku cetak yang dipinjamkan sekolah, siswa tidak bisa menjawab pertanyaan guru, dan siswa tidak ikut pembelajaran. Namun pelaku perundungan di satuan pendidikan selama tahun 2022 lebih didominasi oleh peserta didik terhadap peserta didik lainnya. Namun, pelaku perundungan di satuan pendidikan selama tahun 2022 lebih didominasi peserta didik terhadap peserta didik lainnya.

Berulang kali Presiden Joko Widodo mengingatkan semua pihak supaya bahu-membahu menjaga keutuhan bangsa dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945. Ia pun dengan tegas mengatakan, "tidak ada tempat" bagi pihak-pihak yang ingin memecahbelah bangsa ini, yang menebar benih-benih kebencian, dan yang bersikap intoleran dan radikal. Namun, himbauan ini nampaknya akan tak bergaung sampai ke bawah jikalau para pihak terkait semisal kalangan yang bergerak di ranah pendidikan tidak sesegera mungkin mengambil langkah- langkah konkret dan tepat sasaran.

Penting untuk menegakkan kebijakan dan prosedur yang jelas dan konsisten terkait intoleransi di sekolah. Sekolah harus memiliki aturan yang jelas dan ditegakkan secara adil untuk mencegah diskriminasi dan intoleransi. Guru dan staf sekolah juga harus mendapat pelatihan tentang cara mengatasi situasi yang melibatkan intoleransi dan memastikan bahwa tindakan mereka konsisten dengan nilai-nilai sekolah dan kebijakan yang telah ditetapkan.

Dalam hal ini, sekolah bisa mengikutkan guru-gurunya dalam kegiatan Modul Wawasan Kebhinnekaan Global. Nilai-nilai kebhinnekaan dan toleransi harus dihidupkan melalui beragam kegiatan di sekolah, terutama di sekolah-sekolah negeri. Sekolah tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus melibatkan para orang tua murid dan masyarakat sekitar. Aneka macam aktivitas harus diciptakan sedemikian menarik sehingga anak-anak dan remaja dapat merasakan getaran-getaran kebersamaan, pluralitas, dan kegotongroyongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun