“Kalian bukan… bukan anak kandung kami,” Lina melanjutkan dengan suara yang nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat jantung keempatnya mencelos.
“Kami menemukannya… kalian… di surau. Kami tak tahu siapa orang tua kalian. Tapi kami tahu… Allah menitipkan kalian untuk kami rawat. Dengan cinta. Dengan seluruh hidup kami…”
Keheningan yang jatuh seperti daun kering itu pecah oleh isak. Tapi tak ada amarah. Tak ada tanya. Hanya pelukan yang mengetat.
“Kami... mungkin tak sempurna… tapi kami selalu… mencintai kalian seolah kami melahirkan kalian dengan air mata…”
Tangis mereka bergema pelan di ruang perawatan. Seorang perawat menyeka air mata dengan tangan gemetar.
Lina mulai mengucap, dengan suara hampir habis, “La ilaha…”
Sina menyambung dengan lemah, “…illallah…”
Mereka mengucap kalimat itu sekali lagi. Bersamaan. Bersahutan. Seperti doa yang menembus langit.
"La ilaha illallah…"
Lalu detak jantung berhenti. Mesin berhenti berbunyi. Tapi cinta tidak.
Keempat anak itu tidak hanya menangisi kepergian dua wanita tua. Mereka menangisi gugurnya dua pohon kasih, dua matahari kecil yang telah menghangatkan hidup mereka.