Mohon tunggu...
Akiko Ivana
Akiko Ivana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan Gender; Realita atau Wacana Belaka?

30 Mei 2023   14:15 Diperbarui: 30 Mei 2023   14:40 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, isu feminisme telah menjelma menjadi umpan hangat media. Kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan akan terus mendapat perhatian khusus dari masyarakat, terlebih apabila kasus ini diangkat ke media. Tidak dapat dipungkiri, hal ini juga membawa dampak positif dengan kemunculan kelompok-kelompok baru yang secara terang-terangan memberikan dukungan mereka terhadap isu feminisme. Gerakan anti kekerasan terhadap perempuan pun menjadi agenda rutin yang digaungkan dimana-mana. 

Perlindungan terhadap Perempuan berubah menjadi sebuah esensialitas tersendiri. Publik menuntut adanya peran aktif negara dengan mengangkat isu feminisme dalam setiap peraturan perundang-undangan, dengan harapan hak-hak perempuan sebagai pihak minoritas dan kerap menjadi objek marginalisasi, dapat terpenuhi selayaknya hak manusia pada umumnya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah upaya-upaya ini menemui keberhasilan atau justru sebaliknya jauh dari yang dicita-citakan.

Dalam lapangan hukum, kesetaraan gender telah lama menjadi isu penting yang krusial, terkhusus dalam upaya penegakan hukumnya. Hukum yang ada saat ini mengakui bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama, dibuktikan dari Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Konstitusi kita secara jelas menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara warga negara satu dengan lainnya di mata hukum dan berhak turut serta dalam pemerintahan tanpa ada pengecualian. 

Merujuk kepada dasar konstitusi ini, maka jelaslah marginalisasi terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan dengan alasan perempuan sebagai pihak yang lebih lemah daripada laki-laki, serta bentuk pelecehan seksual lainnya adalah bentuk pencederaan terhadap konstitusi negara.

Lebih lanjut dalam UU Ketenagakerjaan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Inpres Pengarusutamaan Gender, Keppres Pembentukan Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan, serta peraturan perundang-undangan lainnya telah secara eksplisit menyebutkan hak-hak perempuan yang perlu dilindungi dan diproteksi oleh Negara. 

Secara yuridis, baik dalam tataran nasional maupun internasional, Instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui prinsip persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun bila kita menilik tataran implementasinya, perempuan selalu mendapatkan marginalisasi secara eksplisit dalam segala bidang. Misalnya dalam dunia perpolitikan. Dikutip dari detik news, bahwasanya keterwakilan perempuan dalam kursi DPR 2019 hanya sebesar 20.8% dari total 575 orang anggota DPR, yang apabila di angka-kan hanya sejumlah 120 orang. 

Meski jumlah ini sudah terbilang meningkat apabila dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya, namun jumlah ini tetap tidak bisa dikatakan banyak. Kemudian, dalam bidang ketenagakerjaan, perempuan juga tidak mendapat tempat yang aman. Dibuktikan dari termarginalisasikannya perempuan dalam kontrak kerja dengan perusahaan, kecenderungan 88% perempuan di PHK oleh perusahaan di Jakarta, pemberian beban kerja yang tidak sebanding dengan upah yang diberikan, serta isu-isu lainnya. Hal ini menjadi penjelmaan nyata bahwa keterlibatan perempuan masih minim.

Disamping tantangan secara yuridis, tantangan realisasi juga menjadi permasalahan yang perlu dicermati. Ketidakberpihakan masyarakat dan kurangnya konsiderasi masyarakat dalam menanggapi kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan turut memberi sumbangsih bagi rumitnya penegakan keadilan dan kesetaraan gender bagi perempuan. Masyarakat saat ini sudah mewajarkan normalisasi dalam setiap isu perempuan dengan menganggap bahwa kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan akan terus terjadi tidak peduli seberapa kuat payung hukum dan upaya dari pendukung feminisme dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan. 

Bahkan kerap kita temui masyarakat yang justru melimpahkan kesalahan kepada perempuan sebagai korban karena telah mengundang laki-laki untuk melakukan pelecehan dan kekerasan seksual kepada mereka. Lebih mirisnya lagi, masih sedikit masyarakat yang mengerti mengenai apa itu pelecehan seksual dan bentuk-bentuk pelecehan seksual.

Nyatanya, hal-hal kecil seperti cat calling ataupun memegang dan menyentuh tanpa persetujuan dari wanita tersebut adalah salah satu bentuk kecil pelecehan yang kerap di normalisasi oleh masyarakat. Baik disadari maupun tidak, stereotip dan anggapan semacam ini juga menjadi salah satu alasan utama mengapa kesetaraan gender dan perjuangan penegakan terhadap hak-hak perempuan menjadi sangat sulit untuk direalisasikan.

Perjuangan Perempuan dalam menegakkan hak dan kepentingannya adalah hal yang tidak bisa di pandang sebelah mata. Diperlukan kesadaran dari masing-masing pihak, khususnya dari diri sendiri mengenai seberapa penting isu ini untuk kemudian menjadi perhatian kita bersama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun