Pajak dinaikkan dan gaji bulanan rakyat biasa sering kali habis sebelum tanggal tua. Di tengah situasi itu, kabar yang datang dari Senayan cukup mencengangkan. Para wakil rakyat justru mendapat kompensasi rumah dinas menjadi tunjangan uang dengan nilai yang luar biasa. Kontras ini bikin masyarakat geleng-geleng kepala. Pengangguran masih saja menyebarluas, kemiskinan merajalela, lapangan pekerjaan sangat sulit untuk didapatkan. Namun, DPR mudah saja mendapatkan jumlah uang yang begitu fantastis.
Kompensasi rumah dinas ini tentu bukan sekadar angka di atas kertas. Hal ini memantik pertanyaan yang lebih mendasar, apakah langkah itu benar-benar dibutuhkan demi kinerja parlemen, atau sekadar menambah kenyamanan para wakil rakyat? Apakah hal tersebut sebuah solusi yang dapat dibenarkan? Fenomena semacam ini memicu publik bereaksi keras. Bukan semata soal nominal, tapi soal rasa keadilan.
Wacana ini muncul resmi dari gedung Senayan dengan alasan klasik, kompensasi rumah dinas, penyesuaian kebutuhan hidup, beban kerja yang berat, hingga standar kelayakan sebagai pejabat negara. Dengan kata lain, para wakil rakyat menilai, mereka butuh "kekuatan tambahan" untuk bisa bekerja lebih optimal. Nominal tunjangan DPR sendiri sudah cukup membuat rakyat biasa sulit menahan ekspresi. Jika dibandingkan dengan rata-rata gaji pekerja UMR, perbedaannya bisa berkali-kali lipat. Misalnya, seorang buruh di kota besar harus hidup dengan gaji sekitar Rp4-5 juta per bulan, sementara gaji pokok yang disertai tunjangan untuk DPR sudah menembus angka puluhan juta rupiah. Itu pun belum termasuk fasilitas lain, seperti kendaraan, hingga biaya keluarga, tunjangan beras, dan yang lainnya.
Dalih yang digunakan biasanya sama, DPR memiliki tanggung jawab besar dalam membuat undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, serta menyuarakan aspirasi rakyat. Tapi persoalannya, kinerja yang ditampilkan sering kali tidak seindah angka dalam slip gaji. Catatan bermain candy crush sewaktu rapat, RUU yang berjalan secara nonprosedural, hingga kontroversi etika justru lebih sering menghiasi pemberitaan. Di titik ini, publik pun bertanya-tanya, apakah kompensasi rumah dinas benar-benar sepadan dengan hasil kerja DPR? Atau justru ini semacam "bonus tak tertulis" yang mereka berikan pada diri sendiri?
Begitu kabar kompensasi rumah dinas mencuat, publik langsung ramai bereaksi. Media sosial penuh dengan komentar satir hingga meme yang menusuk. Selain suara masyarakat media sosial, pengamat politik dan ekonomi juga ikut angkat bicara. Banyak yang menekankan bahwa kompensasi rumah dinas sah-sah saja selama kinerja parlemen juga meningkat. Sayangnya, realitas di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya: tingkat kepercayaan publik terhadap DPR kerap rendah, sementara produktivitas legislasi sering berjalan dengan sedikitnya partisipasi publik.
Kontras ini makin terasa ketika dibandingkan dengan kondisi rakyat. Saat masyarakat masih berjuang menghadapi kenaikan pajak, iuran BPJS, biaya pendidikan, para wakil rakyat justru terlihat lebih sibuk memperjuangkan kesejahteraan finansial mereka sendiri. Alhasil, bukan kepercayaan yang lahir, melainkan kebingungan yang semakin menebal. Fenomena ini menunjukkan jurang yang kian lebar antara rakyat dan wakilnya. Bagi banyak orang, kompensasi rumah dinas DPR bukan sekadar masalah uang, melainkan simbol betapa jauhnya mereka dari realita kehidupan rakyat yang diwakili.
Alasan kompensasi rumah dinas DPR karena dihapusnya pemberian rumah dinas kepada mereka. Apakah hal ini menjadi satu-satunya solusi untuk mereka? Apakah ini solusi yang benar? Apakah solusi itu benar-benar diperlukan? Jikalau menengok kinerja yang penuh kontroversial, apakah mereka layak mendapatkan kompensasi dengan jumlah demikian? Produktivitas legislasi juga kerap dipertanyakan dari sekian banyak Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam Prolegnas, hanya sebagian kecil yang berhasil dan dapat diterima oleh rakyat, dengan beberapa RUU yang justru sering menuai kontroversi karena dianggap tidak berpihak pada rakyat.
Jika memakai logika sederhana, kompensasi rumah dinas seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kerja. Namun dalam hal ini, yang terjadi seolah bertentangan, kinerja stagnan, tapi fasilitas justru naik. Pertanyaan mendasar pun tak terelakkan, apakah kompensasi rumah dinas ini benar-benar akan memotivasi DPR bekerja lebih serius, atau hanya menambah tebal dompet tanpa perubahan berarti? Kalau dibandingkan dengan negara lain, gaji dan tunjangan anggota parlemen Indonesia sebenarnya sudah terbilang tinggi. Di beberapa negara maju, memang benar wakil rakyat digaji besar, tetapi ada prasyarat yang ketat dan profesionalitas dan nasionalisme yang tinggi hingga mereka senantiasa bekerja dengan transparansi anggaran, akuntabilitas kinerja, serta standar etika yang tinggi. Sementara di Indonesia, standar itu masih jadi pekerjaan rumah yang panjang.
Kompensasi rumah dinas DPR sering dipandang seperti keputusan sepihak yang jauh dari rakyat. Perbedaan gaya hidup pun terasa mencolok, sementara rakyat masih sibuk menghitung receh untuk belanja bulanan, para wakil rakyat sudah menikmati fasilitas, gaji, dan tunjangan yang luar biasa. Hal ini memperlihatkan bahwa masalahnya bukan semata pada besar-kecilnya gaji, melainkan pada jurang sosial yang semakin lebar antara rakyat dan wakilnya. Kompensasi rumah dinas di atas kertas bisa saja sah, tapi tanpa transparansi dan akuntabilitas, semua hanya akan tetap terasa seperti drama lama, rakyat yang berkorban, wakil rakyat yang diuntungkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI