Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

(Mencoba) Menangkap Jiwa dengan Logos: Resensi Buku Filosofi Jiwa Audifax

4 September 2013   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:23 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sepanjang kehidupan manusia, bahasan jiwa akan menjadi satu hal menarik dan mungkin (tidak) akan selesai. Dalam hemat saya, belajar tentang jiwa sama panjangnya dengan belajar sejarah kehidupan manusia. Di satu sisi saya berhadapan dengan teka-teki rumit sekaligus menarik yang senantiasa menghidupkan spirit baru dengan terbukanya satu sudut diantara entah berapa sudut tersisa, optimis! Disisi lain terdapat tembok tebal yang tak mungkin bisa terlewati mengingat saya harus berpetualang sepanjang sejarah manusia. Padahal hanya sepanjang sejarah bangsa Indonesia saja saya hanya tahu sedikit, pesimis! Tapi bukankah optimis dan pesimis juga merupakan cerminan jiwa kita menurut para pakar ilmu jiwa?

Bila kita cermati, setiap dogma (religi) manusia menyebutkan bahwa jiwa adalah sesuatu yang tersembunyi, misteri paling berharga dan urusan Tuhan. Setiap kebudayaan yang disepakati masyarakat memiliki cara berbeda menjelaskan masalah jiwa dan mendekati dengan berbagai ritualnya. Faktanya mulai zaman awal lahirnya ilmu pengetahuan hingga sekarang belum terdapat kesepakatan, bahkan belum ada satupun orang atau kelompok yang berani mendeklarasikan diri terkait penemuan sahih dan tak terbantahkan tentang jiwa. Atau jangan-jangan satu-satunya kesahihan tentang jiwa adalah ketidaksahihan, ambiguitas, absurditas,..? Buku filosofi jiwa yang sedang kita bahas sekarang mencoba melihatnya dari kacamata berbeda (ditengah arus psikologi) dengan mengembalikan bahasan jiwa pada ibu kandungnya, filsafat.

Dari mana kita (harus) mulai dalam membahas jiwa? Audifax (penulis) memilih memulai berlayar dari tanah dimana sebutan jiwa dalam psikologi (psyche) berasal. Kajian mitologi kata psyche menurut penulis memberikan spirit tersirat tentang absurditas. Absurditas yang sama kemudian ditemukan dalam psikologi (psyche+logos). Ranah “ada” (ontologi) psikologi mirip dengan kesulitan psyche menjelaskan dirinya sendiri ketika bersuamikan dewa cinta (eros). Banyaknya aliran dalam psikologi yang tetap kesulitan menjelaskan eksistensi jiwa sejalan dengan sulitnya menjelaskan hubungan antara dua makhluk berbeda, manusia (psyche) dengan dewa cinta (eros). Klaim kebenaran teori dalam setiap aliran psikologi seirama dengan klaim kebenaran pada akhir mitologi psyche.

Berbeda dengan banyak buku lainnya, buku ini menohok sekaligus memberikan refleksi panjang kepada kita yang berada dalam payung akademis psikologi. Harus diakui, selama ini kita layaknya menjelaskan sesuatu tanpa kita tahu “ada”nya sesuatu tersebut. Bahkan kita juga bingung dengan bagaimana kita menuju kepada “ada”nya jiwa.

Psyche ist ausgedenmt, weis nichts davon” begitu ungkapan Sigmund Freud. Psyche adalah sesuatu yang luas yang melekat disebelah luar (extended), tak ada sesuatu yang bisa diketahui tentangnya. Sesuatu alam ekstensi yang tak dapat disentuh oleh tubuh. Sang polemikus agung dalam ranah psikologi modern, Freud kemudian mencoba menjelaskan eksistensi ini dengan cara yang (mungkin) mudah ditangkap manusia, yaitu dengan alam mimpi. Alam mimpi berbeda dengan alam terjaga, dalam mimpi semua menjadi mungkin, tidak terjangkau oleh pikiran (imajiner), menggunakan bahasa yang kacau.

Jadi mungkinkah yang imajiner dapat kita tangkap dengan pikiran kesadaran? Penulis memilih jawaban bahwa imajinasi berbeda dengan  pikiran yang bersifat mengetahui, memastikan. Namun mengimajinasikan tidak juga berarti meniadakan pikiran atau pengetahuan. Artinya alam imajiner bersifat idiosinkretik, aku hanya bisa dibandingkan dengan aku. Sehingga tidak terjadi kesalahan yang telah lama dianggap sebagai sesuatu yang pasti, yaitu mencoba menangkap psyche seseorang dengan membandingkannya dengan orang lain (nomotetik).

Sampai disini, radar penulis mengarahkan bidikannya pada hal paling dianggap bertanggung jawab dengan berkembangnya pengetahuan nomotetik dalam ranah psyche, yaitu bahasa. Mengapa bahasa? Bahasa adalah tatanan sistematis sebagai alat komunikasi antar manusia. Bahasa adalah kesepakatan, sekaligus kesewenang-wenangan (arbitrer). Bahasa selamanya tidak bisa menjelaskan mengapa botol (benda) ditandakan dalam konsep botol (bahasa). Dengan begitu psyche selalu meloloskan diri dari tangkapan bahasa, karena pada titik tertentu tidak semua makna dapat ditangkap oleh kesepakatan bahasa.

Sekitar 2500 tahun setelah era Plato, dengan meminjam istilah dari filsuf Derrida kajian terkait psyche penulis anggap sebagai hampiran atas hamparan samudera. Dalam artian belum ada kemajuan yang melebihi gagasan Plato tentang psyche. Plato menganggap psyche sebagai arche-mythology yang mendahului logos. Sesuatu yang hanya bisa ditangkap dengan idea bukan dengan kata-kata. Sampai disini saya dipaksa ingat dan menyejajarkan psyche dengan atlantis yang disebut oleh Timaeus and Critias. Keduanya hampir tidak memiliki perkembangan berarti setelah dilahirkan Plato dalam karyanya. Selalu memantik nafsu keingintahuan, namun psyche dan atlantis sekaligus juga seolah rakus dalam menelan semua kata dan metode yang mendekatinya.

Stagnasi psyche disindir penulis dengan menunjukkan bahwa begitu banyak aliran dalam psikologi, begitu banyak model psikoterapi, kesemuanya tidak pernah sepakat dalam menangani satu buah kasus saja. Ini jelas berbeda dengan keilmuan kedokteran misalnya, yang sepakat mengobati satu penyakit dengan hanya satu obat saja. Ahli fisika yang sepakat hanya dengan satu rumusan umum untuk melihat air mendidih atau titik beku. Ketika sampai pada kenyataan ini, saya kemudian juga tersenyum melihat kenyataan tidak adanya psikolog yang masyhur seperti kebanyakan dokter.

Kembali pada usaha logos dalam menangkap psyche, dalam buku ini saya menemukan usaha pendekatan yang dilakukan penulis melalui berbagai jalan. Dekonstruksi bahasa merupakan salah tol besar yang diciptakan penulis untuk menuju (melihat) berbagai jalan lain yang telah dibuat sebelumnya dalam mendekati psyche. Dan entah mengapa tol tersebut dalam fantasi saya diberi nama Sigmund Freud. Termasuk kalimat relektif pada halaman 110 ini:

“mempelajari psyche (dan nama ilmu lain) dalam semangat logos adalah memepelajari ‘sesuatu’ dalam tatanan bahasa yang disadari benar dilakukan dengan cinta”

Kalimat refleksi tersebut dapat kita temui setelah kita melewati liku jalan menuju pemahaman mengenai tol psyche Freud dengan munggunakan berbagai kendaraan bermerek Nietzche, Derrida, Lacan dan Kristeva.

Bermula dengan bahasan logos, penulis sampai pada logos yang bukan biasa diterjemahakan dengan ‘ilmu’, namun lebih pada ‘kata yang menjadi pengetahuan’. Dengan kendaraan bermerek Derrida, ‘kata’ tidak hanya dipandang sebagai tatanan bahasa (kesepakatan arbriter). Kata disini dipakai untuk membahasakan yang tak ter-bahasa-kan (psyche), sehingga dapat dikomunikasikan. Kata dipakai sebagai bentuk kerendahhatian dan kesadaran penuh akan adanya lack, ruang, kekosongan yang menspasi kesadaran (tempat kata) dengan psyche.

Apa yang harus kita lakukan bila psyche adalah sesuatu yang selalu menspasi, mengambil jarak dengan para pengejarnya? Untuk melintasi pertanyaan tersebut kita menggunakan kendaraan bermerek Nietzche. Kendaraan ini akan mengajak kita menyadari spasi, kekosongan. Menyadari ‘saat’ dan mengafirmasi segala hasrat yang terus mengaliri kekosongan  dengan ketak-pastian. Kendaraan ini hanya bisa berjalan kalau kita mengisinya dengan ubermensch, terbuka terhadap suatu kemungkinan. Dengan spirit seperti itulah kita mengencangkan rangsel mengejar psyche.

Rangsel? Haruskah kita mengisinya? Kita mengisinya dengan Cinta. Kali ini kita membutuhkan kendaraan bermerk Lacan dan Kristeva. Sebelum berbicara cinta, mari kita merenungi kembali diri kita sampai detik ini. Sebelum kita sadar, kita adalah satu (bagian) dengan ibu dalam kandungan. Dalam kandungan kita adalah sempurna-tidak merasakan apapun, baik itu kurang-lebih, sehat-sakit, bahagia-sedih dan lain sebagainya. Kita adalah sebuah imajiner-simbolis. Sampai pada dilahirkan kita tetap merasa sempurna, hingga tiba saatnya kita mengenal bahasa. Kita dipaksa untuk terpisah dengan ibu, bapak, ruangan, enak, senang, sakit, semuanya, dengan belajar bahasa. Inilah yang oleh Lacan disebut sebagai ‘tatanan-simbolik’, pendeskripsian diri dengan kata. Sebuah refleksi bahasa dari istilah ‘masa cermin’ Freud. Bahasa adalah cermin, sudah ada sebelum anak dilahirkan, memaksa anak berbeda dengan lang lain, teraleniasi.

Teralienasi! Melihat dan menyadari ada ‘nilai’ dalam diri kita. Bahasa mengenalkan kita pada kekurangan, yang dulu tidak pernah kita rasakan. Namun ternyata proses ini (lepas dari ibu) harus kita jalani untuk bisa ‘hidup’ dalam tatanan bahasa. Sampailah kita pada ambiguitas. Mari kita melanjutkan perjalanan dengan kendaraan bermerek Kristeva. Kita yang tiba-tiba dipaksa mengenal bahasa (memecah diri kita) untuk tetap hidup dalam tatanan-bahasa disebut Kristeva dengan abjek. Prosesi abjek merupakan prosesi yang mampu membuat anak menjadi subjek-berbicara. Disinilah cinta mulai kita kenal. Cinta adalah kombinasi subliminal dan abjek. Kombinasi sesuatu yang ideal sebelum kita berabjek dengan kondisi abjek itu sendiri. Bagi saya, cinta disini sangat susah untuk di-kata-kan. Identifikasi melalui perbedaan tanpa menggugurkan atau mengasimilasi perbedaan. Bercinta adalah menyapa yang lain-yang berbeda dengan kita-yang dulunya adalah kita. Kita mengakui sesuatu yang berbeda sekaligus mengakui bahwa yang berbeda itu adalah kita. Menyatu sekaligus berjarak, menjadi subjek sekaligus menjadi objek, menghasrati sekaligus dihasrati.

Perjalanan ini harus kita akhiri, sekaligus kita awali. Berbicara psyche menggunakan logos akan selalu melewati jalan cinta. Jalan yang dekat sekaligus tak berujung, disana kita menjadi sopir sekaligus menjadi penumpang. Mengenali jalan cinta akan memberi kita peta agar tidak terjebak menjadi subjek dan lupa diri bahwa sesungguhnya kitalah objeknya. Sebagai seseorang yang berburu psyche dalam logos (psikologi) filosofi tersebut dapat menghindarkan kita dalam euphoria techne, tukang. Tukang mengubah benda (objeknya) dengan caranya sendiri untuk membuat benda sesuai dengan model dalam pikirannya. Dan cara itu biasanya keras, kasar, tanpa mengindahkan benda objeknya. Kitakah itu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun