Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Memang Repot Mendampingi Anak Sekolah dari Rumah, tapi...

13 September 2020   18:20 Diperbarui: 16 September 2020   03:37 1373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari https://www.nationalgeographic.co.uk/

Jika kita (dewasa) saja membutuhkan waktu beradaptasi dengan masa pandemi, apakah kita pikir anak-anak tidak membutuhkannya?

"Kalau dulu (sebelum sekolah daring) bangun jam 5 pagi waktu masih terlihat longgar, tapi sekarang bangun sebelum waktu subuh juga terasa sangat sempit" ujar Dewi yang terpaksa untuk mengatur ulang semua jadwal pekerjaan sejak sekolah diliburkan.

Pasalnya, kedua anaknya membutuhkan perhatian khusus untuk menjalani pembelajaran di rumah. Anak pertama kelas 3 Sekolah Dasar dan anak kedua baru pada jenjang Taman Kanak-kanak B, keduanya menjalani pembelajaran daring yang menurut Dewi sangat melelahkan. 

"Mereka yang sekolah, tapi kami (orangtua) yang sangat kerepotan pak, karena banyak hal lain yang kami juga harus kerjakan" keluh Dewi karena dia juga harus bekerja kantor.

Perasaan yang hampir pasti dirasakan oleh keseluruhan orangtua di dunia. Permasalahan adaptasi peran (mengurusi RT, karir dan juga fasilitator belajar/guru), efek merebaknya wabah virus yang oleh WHO disebut pandemi.

Jika sebelumnya peran fasilitator pembelajaran diambil alih oleh guru dan sekolah, sekarang peran tersebut juga harus diemban oleh orangtua di rumah. Kehidupan berubah drastis dan stress merebak.

Ada banyak ekspresi stress orangtua dalam pembelajaran daring, mulai dari membuat konten medsos, curhat, sampai yang paling mungkin dan sering adalah balik memberikan tekanan (stress) kepada anaknya dengan mengungkapkan emosi negatif saat mendampingi anak belajar.

Ekspresi jenis ini bisa dalam bentuk kemarahan verbal sampai fisik. Lagi-lagi anak menjadi korban. 

Secara pribadi saya sangat khawatir dengan luapan kemarahan verbal kepada anak. Jika tidak terkontrol, biasanya banyak hal terucap saat marah, salah banyaknya adalah memberi label kepada anak dengan berbagai label negatif, seperti "gitu aja kok gak bisa", "cepat kerjakan, jangan malas-malasan!" sampai ucapan "bodoh".

Jika semua dari kita sepakat bahwa menyekolahkan anak adalah untuk mencerdaskan mereka, memfasilitasi mereka untuk lebih baik dalam menghadapi kehidupan dan atau bahasa instannya adalah mencapai kesuksesan, saya rasa perkataan negatif kita selama mendampingi mereka di masa pandemi adalah sebuah paradoks.

Mari kita lihat biografi manusia-manusia terpilih. Selain berbakat dalam bidangnya masing-masing, hampir semua dari mereka mengalami masa kecil dengan mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekatnya.

Mengembangkan potensi anak

Perempuan satu-satunya peraih Fields Medal bidang matematika (setara Nobel), Maryam Mirzakhani tidak memperlihatkan nilai matematika yang brilian sampai sekolah menengah.

Bisa saja kita memperdebatkan terkait konsep bakat (gifted), apakah hal tersebut ada? Apakah semua manusia lahir dengan bakatnya masing-masing? Atau sebaliknya?

Jika iya, apakah hanya manusia yang mendapatkan karunia (bakat) yang menjadi berhasil kelak? Terus bagaimana mengukur bakat dengan tepat?

Banyak sekali pertanyaan terkait bakat. Psikologi bisa disebut sebagai ilmu yang paling getol meneliti dan berusaha menyingkap rahasia bakat manusia. Satu hal yang menjadi benang merah kesepakatan ilmuwan terkait bakat adalah kata 'potensi'.

Kenyataannya, kita menemukan manusia-manusia yang sejak kecil memang terlihat luar biasa dan menjadi manusia yang menciptakan sejarah luar biasa, kita tahu B.J. Habibie.

Namun kita juga mengenal Einstein kecil yang kesulitan berbicara dan disebut the dopey one (si tolol) oleh pembantu keluarganya.

Kita juga tahu bahwa perempuan satu-satunya peraih Fields Medal bidang matematika (setara Nobel), Maryam Mirzakhani tidak memperlihatkan nilai matematika yang brilian sampai sekolah menengah. Maryam kecil yang lahir di Iran adalah pecinta sastra, dia menghabiskan masa kecilnya dengan membaca berbagai karya sastra. 

Bahkan psikolog ternama Lewis Terman pernah melakukan riset panjang dan justru 'kecolongan'. Terman dan tim pada tahun 1921 menyeleksi ribuan anak dan merasa menemukan 1470 anak-anak berbakat. anak-anak jenius dengan skor IQ di atas 135. Namun, apa yang terjadi?

Pada masa mendatang, Terman dan tim harus gigit jari. Pasalnya ada dua nama yang tidak lolos dalam seleksi mereka, malah menerima Nobel dalam bidang Fisika, Luis Alvarez dan William Shockley.

Pertanyaannya adalah, apakah kira-kira Einstein, Maryam, Luis Alvarez dan William Shockley semasa kecilnya terus menerima kemarahan dari orang terdekatnya (orangtua) saat mereka belajar? Ataukah mereka terus menerima tekanan untuk terus menerus belajar dan mengerjakan PR? 

Anda tidak akan menemukan itu dalam biografi mereka. Mereka hidup dalam dukungan orang terdekatnya.

Kesuksesan mereka mengubah dunia, menyegel tinta sejarah tidak hanya hadir dalam diri mereka (bakat) namun juga buah kesabaran pendampingan orang terdekat mereka. 

Menyadari dan berhati-hati

Mari kita mulai dari hal paling sederhana, dimanakah kita? Kesadaran adalah hal utama untuk menemukan posisi diri kita dan apa yang harus kita perbuat. Kita tahu bukan hanya sekolah di Indonesia yang harus ditutup, tapi di seluruh dunia.

Masalahnya kemudian adalah kita belum siap mendampingi anak-anak belajar di rumah. Iya, kita semua orangtua -baik yang di rumah (orangtua) maupun yang di sekolah (guru).

Banyak sekolah yang masih menganggap keadaan ini normal, dengan memberikan tugas akademik terus-menerus.

Begitupun sebaliknya, banyak orangtua yang menganggap anak-anak mereka seharusnya mampu konsentrasi, belajar dan mengerjakan tugas, walaupun mereka tidak sedang dalam lingkungan belajar formal (sekolah).

Nampak bukan, siapa yang tidak siap? Orang dewasa atau anak-anak?

Sekolah daring sekaligus juga menyingkap secara benderang posisi sekolah dalam kehidupan.

Diakui ataupun tidak, kita telah terjebak dan 'terpaksa' menggunakan sekolah sebagai tolok ukur tunggal perkembangan anak-anak kita. Kecerdasan, bakat dan bahkan kreativitas anak hanya bisa dilihat dari perkembangan anak di sekolah. Hampir tidak ada perbandingan lainnya.

Hal tersebut yang membuat kita sebagai orangtua merasa sangat tertekan dengan tugas sekolah masa pandemi.

Kita panik, takut jika anak-anak tidak mengerjakannya maka tidak mendapatkan penilaian yang layak. Kita lebih takut anak tidak mengumpulkan tugas daripada cemas dengan minat belajar mereka.

Kita ketakutan dengan prestasi akademik anak-anak kita, bukan perkembangan bakatnya. Kita lebih takut anak-anak tidak patuh pada aturan yang mereka tidak dilibatkan, sama sekali kita tidak takut mereka kehilangan daya kreatif dan berpikir kritis. Sebenarnya kita sedang mencemaskan diri kita sendiri, bukan anak-anak kita. 

Mari kita benahi kecemasan kita, kita benahi ketidaksiapan kita. Mulailah dengan hati-hati. Jika kita (dewasa) saja membutuhkan waktu beradaptasi dengan masa pandemi, apakah kita pikir anak-anak tidak membutuhkannya?

Mari menyusun jadwal dengan melibatkan mereka. Mari bicara dengan pihak sekolah. Perhatikan minat belajar mereka, gunakan metode yang paling mereka suka. 

Jangan-jangan bukan mereka yang malas belajar, tapi lebih pada mereka tidak suka. Jangan-jangan bukan mereka tidak paham dan tidak bisa, tapi lebih pada mereka tidak minat mengerjakannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun