Mohon tunggu...
Akbar Nugraha Pangayoman
Akbar Nugraha Pangayoman Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Meninjau Ulang Syarat Minimal Calon Anggota Legislatif: Antara Hak Politik dan Kualitas Representasi

11 Oktober 2025   14:15 Diperbarui: 11 Oktober 2025   14:14 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembentukan Undang-Undang merupakan salah satu fungsi utama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945. Dalam menjalankan fungsi legislasi tersebut, DPR tidak hanya bertugas merumuskan norma, tetapi juga memastikan bahwa norma yang dihasilkan mencerminkan kepentingan publik dan memperkuat kualitas demokrasi. Salah satu isu yang mengemuka dalam konteks pembentukan Undang-Undang Pemilu adalah persyaratan minimal bagi calon anggota legislatif.

Syarat minimal ini tidak sekadar teknis administratif, melainkan menyangkut kualitas wakil rakyat yang akan menduduki lembaga legislatif. Oleh karena itu, pengaturan mengenai syarat tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan antara hak politik warga negara dan standar minimal kompetensi serta integritas untuk menjaga kualitas demokrasi.

Dalam praktiknya, pengaturan mengenai syarat minimal calon legislatif dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih menimbulkan sejumlah persoalan. Beberapa di antaranya:

Standar pendidikan minimal hanya sampai jenjang SMA/sederajat, sehingga menimbulkan perdebatan apakah hal tersebut cukup untuk menjalankan fungsi legislasi yang kompleks.

Belum ada standar kompetensi khusus atau uji kelayakan bagi calon anggota legislatif, padahal mereka berperan menyusun kebijakan negara yang menyentuh aspek hukum, politik, dan sosial secara mendalam.

  1. Hak politik sering dijadikan alasan utama untuk menolak peningkatan standar syarat, dengan dalih tidak boleh ada pembatasan hak warga negara untuk dipilih. Namun, di sisi lain, kualitas DPR sering menjadi sorotan publik, terutama dalam hal rendahnya kapasitas legislasi dan tingginya kasus pelanggaran etik maupun hukum.

  2. Belum adanya kesepakatan politik di DPR untuk mendorong revisi UU Pemilu secara substansial dalam hal peningkatan syarat minimal ini, meskipun wacana tersebut sudah lama berkembang di masyarakat sipil dan kalangan akademisi.

Revisi atau pembentukan undang-undang yang mengatur syarat minimal bagi calon legislatif perlu didasarkan pada prinsip progresivitas hukum dan penguatan demokrasi substantif.

Dari perspektif hak konstitusional, setiap warga negara memang memiliki hak untuk dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 28D dan 28E UUD 1945. Namun, hak tersebut dapat diatur lebih lanjut melalui undang-undang sepanjang tidak bersifat diskriminatif dan memiliki tujuan yang sah secara konstitusional. Dalam hal ini, peningkatan syarat minimal dapat dibenarkan untuk menjamin kualitas representasi politik.

Dari segi tugas dan fungsi anggota legislatif, DPR tidak hanya menjadi corong aspirasi masyarakat, tetapi juga lembaga pembentuk undang-undang, pengawas jalannya pemerintahan, serta memiliki fungsi anggaran. Tugas-tugas ini menuntut kapasitas intelektual dan etika politik yang tinggi. Oleh sebab itu, pembentukan UU yang mengatur syarat minimal seharusnya mencakup:

Pendidikan minimal jenjang S1 atau pelatihan khusus legislasi yang bersertifikasi.

Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terbuka untuk memastikan calon legislatif memahami dasar-dasar konstitusi, sistem hukum, dan mekanisme legislasi.

  • Rekam jejak integritas yang jelas, termasuk bebas dari tindak pidana korupsi atau pelanggaran berat HAM.

Pembentukan UU oleh DPR terkait isu ini juga menjadi ujian komitmen politik. DPR seringkali terjebak dalam kepentingan partai sehingga regulasi lebih banyak diarahkan pada kemudahan pencalonan ketimbang peningkatan kualitas calon. Padahal, jika DPR serius memperbaiki citra dan kinerjanya, peningkatan standar ini merupakan langkah strategis jangka panjang.

Pembentukan Undang-Undang Pemilu ke depan harus memperhatikan keseimbangan antara hak politik individu dan kepentingan kolektif bangsa untuk memiliki lembaga legislatif yang kredibel. Syarat minimal bagi calon anggota legislatif bukanlah bentuk pembatasan hak, melainkan bentuk tanggung jawab negara untuk memastikan demokrasi berjalan dengan kualitas tinggi.

DPR sebagai pembentuk undang-undang seharusnya berani meninjau ulang regulasi ini secara terbuka dan inklusif, dengan melibatkan masyarakat sipil dan akademisi, agar wakil rakyat benar-benar lahir dari proses seleksi yang ketat dan berkualitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun