Program Makan Bergizi Gratis (MBG) semestinya hadir sebagai angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Ide dasarnya sederhana yakni memastikan setiap anak di sekolah mendapatkan asupan gizi yang cukup agar memiliki energi maksimal untuk belajar.
Dalam teori, program ini terdengar begitu ideal. Anak-anak tak perlu lagi bersekolah dengan perut kosong. Para orangtua pun sedikit terbantu karena beban biaya makan atau jajan sekolah bisa berkurang.
Namun, seperti banyak program besar lainnya bahwa implementasi MBG tidaklah semudah membalik telapak tangan. Di lapangan, terlalu banyak variabel yang saling silang sehingga program ini kerap menuai masalah.
Beberapa waktu lalu, publik kembali ramai membicarakan kasus keracunan anak-anak usai menyantap MBG di beberapa daerah. Tentu saja kabar ini membuat masyarakat masih dilingkupi was-was. Apalagi keracunan makanan bukan perkara sepele. Ia bisa mengancam kesehatan bahkan nyawa anak-anak.Â
Sementara itu, sekolah yang menerima MBG jadi serba dilema antara bersyukur karena mendapatkan program atau justru cemas karena takut insiden serupa terjadi.
Di sekolah-sekolah, MBG sempat menjadi sesuatu yang dinanti. Bagaimana tidak, sebab sekolah-sekolah tetangga sudah lebih dulu merasakannya. Rasanya tidak adil kalau hanya sebagian siswa yang mendapat jatah. Prinsip keadilan sosial dan pemerataan jelas menjadi alasan kuat. Semua anak bangsa berhak merasakan fasilitas negara yang memang sudah dijanjikan.
Namun, rasa ingin itu berubah menjadi was-was. Setiap kali ada berita tentang MBG seringkali nuansanya negatif terutama terkait kasus keracunan membuat banyak pihak semakin ragu.
Tak jarang, makanan yang diberikan juga tidak habis dimakan anak-anak. Ada yang tidak suka rasanya akibatnya sampah makanan menumpuk dan mubazir. Fenomena ini menimbulkan ironi. Di satu sisi negara berusaha menyediakan makanan bergizi gratis dan di sisi lain makanan itu justru berakhir di tempat sampah.
Mengutip lcdi-indonesia.id, Indonesia menghasilkan timbulan food loss and waste atau mubazir pangan yang cukup besar yaitu 23-48 juta ton per tahun dalam dua dekade terakhir (2000-2019). Nah, kehadiran MBG seakan memperpanjang catatan ini jika tidak dikelola dengan baik.
Selain soal rasa dan kualitas, muncul isu lain yang jauh lebih sensitif yaitu kehalalan wadah makanan.