Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan aturan di sebuah daerah yang memperbolehkan jumlah siswa dalam satu kelas mencapai 50 orang. Kebijakan ini sontak menuai kontroversi. Bahkan dianggap nyeleneh oleh banyak kalangan. Bagaimana mungkin sebuah kelas bisa kondusif dengan jumlah siswa sebanyak itu? Pertanyaan ini wajar muncul sebab dunia pendidikan Indonesia sudah lama berjuang untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif dan berkualitas. Sementara rasio guru dan siswa kerap menjadi tantangan klasik.
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan menyebutkan bahwa maksimal siswa per kelas di jenjang SD adalah 28, SMP 32, dan SMA 36. Jadi, angka 50 siswa dalam satu kelas itu jelas di luar batas kewajaran bahkan bisa dikategorikan overload.
Dalam pengalaman para guru, jumlah siswa yang lebih sedikit cenderung memudahkan proses pembelajaran. Guru bisa lebih fokus, siswa lebih terpantau, dan interaksi di kelas pun lebih hidup. Sementara itu, kelas yang terlalu ramai justru menguras energi guru yang bukan hanya untuk mengajar melainkan juga untuk menjaga ketertiban.
Tidak sedikit riset yang membuktikan bahwa rasio guru dan siswa yang ideal akan meningkatkan hasil belajar. Studi dari Tennessee STAR Project misalnya, menunjukkan bahwa siswa di kelas kecil (13-17 orang) memiliki capaian akademik yang lebih baik dibanding siswa di kelas besar (22-25 orang). Bagaimana jika jumlahnya sampai 50 orang? Tentu hasilnya bisa ditebak.
Kita perlu jujur bahwa kebijakan semacam ini biasanya muncul karena alasan pragmatis seperti keterbatasan ruang kelas, lonjakan jumlah siswa baru, atau distribusi sekolah yang tidak merata. Sayangnya, solusi instan ini justru bisa melahirkan masalah jangka panjang.
Pemerataan siswa di sekolah sebenarnya adalah langkah yang pantas dilakukan. Jika semua siswa hanya menumpuk di sekolah favorit maka sekolah lain akan kekurangan murid lalu terjadi kesenjangan. Maka, pemerintah daerah seharusnya membuat mekanisme pembagian jatah  kuota penerimaan peserta didik baru yang lebih bijak dan transparan.
Dengan pembagian yang proporsional maka guru di setiap sekolah akan mendapatkan jumlah siswa sesuai kapasitas yang wajar. Lantas, kualitas pembelajaran mendalam bisa lebih terarah dan bermakna.Â
Yang Harus DitanggungÂ
Guru tidak pernah luput dari dampak. Tekanan kesehatan mental akibat mengajar kelas besar bisa memicu burnout, kelelahan emosional, bahkan menurunkan kualitas hidup mereka. Padahal, guru yang bahagia adalah kunci keberhasilan pendidikan.
Jika alasan utamanya adalah keterbatasan sekolah maka solusinya bukan menjejalkan siswa dalam satu ruang kelas melainkan memperluas akses pendidikan. Bisa melalui pembangunan penambahan jumlah ruang kelas atau optimalisasi sekolah yang kurang peminat.
Guru dalam posisi ini ibaratnya harus multitasking. Beban yang tidak realistis untuk satu orang. Kondisi ini membuat guru sering terforsir tenaganya hanya untuk menenangkan siswa. Alih-alih menyampaikan materi dengan penuh semangat, guru lebih sering menjadi "polisi kelas". Jika dibiarkan, hal ini bisa menurunkan kualitas pembelajaran dan membuat proses belajar mengajar kehilangan makna.
Kelas besar berisiko menjadikan guru lebih kaku bahkan "killer" demi menegakkan aturan dan menjaga suasana tetap terkendali. Padahal, esensi pendidikan bermutu bukan sekadar disiplin ketat melainkan membangun interaksi manusiawi. Jika guru harus selalu bersikap keras maka hubungan emosional guru-siswa bisa renggang.