Setiap orang pasti punya impian. Salah satunya adalah punya rumah sendiri. Bukan sekadar tempat berteduh tapi juga simbol pencapaian dan stabilitas hidup. Begitu pula dengan anak muda masa kini. Juga para guru muda dari generasi Z yang baru memulai langkah di dunia pendidikan. Mereka adalah para pejuang literasi di ruang-ruang kelas tapi juga manusia biasa yang punya mimpi tinggal di hunian nyaman dan layak. Sayangnya, mimpi itu tidak semudah menuliskan "wishlist" di buku catatan harian. Terutama bagi mereka yang masih berstatus honorer.
Di Indonesia, gaji guru (honorer) masih menjadi PR besar. Banyak guru honorer yang digaji di bawah UMR. bahkan ada yang hanya menerima Rp300 ribu hingga Rp1 juta per bulan.
Dengan angka segitu, jangankan mencicil rumah, untuk menyewa kosan yang layak di kota saja sudah ngos-ngosan.
Maka tak heran jika sebagian guru muda lebih memilih tinggal di kos-kosan sederhana ataupun kontrakan yang bisa berbagi dapur dan kamar mandi.
Tapi ada juga yang berpikir lebih strategis yakni tinggal di rumah dinas guru atau perumahan guru yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Meskipun rumah dinas itu kondisinya jauh dari kata ideal ---atap bocor, tembok retak, lantai mengelupas ---tapi tetap jadi pilihan yang masuk akal.
Kenapa? Karena biayanya hampir nol rupiah. Alias gratis. palingan hanya bayar biaya perbaikan oleh penghuni sebelumnya.
Perumahan guru meski terkesan tua dan kurang perawatan tetap lebih "worth it" dibanding kredit rumah komersil yang makin hari makin sempit dan mahal.
Mengutip Kompas.com, bahwa data dari Bank Indonesia menyebutkan, indeks harga properti residensial terus meningkat setiap tahunnya. Secara keseluruhan, pertumbuhan penjualan properti residensial terutama rumah tipe kecil tercatat meningkat sebesar 33,92 persen (yoy) pada kuartal I 2025.Â
Kenaikan harga ini tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan guru. Alhasil, makin jauh gap antara mimpi dan kenyataan.