Setelah puluhan tahun mengabdi mencerdaskan anak bangsa dari generasi ke generasi, tibalah saatnya seorang guru menggantungkan spidol, menyimpan buku absen, dan mengucap salam perpisahan di ruang kelas. Tapi apakah itu akhir dari segalanya?
Tidak. Justru itu awal dari fase baru dalam perjalanan hidup seorang guru. Fase purna bakti.
Purna bakti bukan sekadar masa pensiun. Ia adalah babak istimewa dalam hidup seorang pendidik yang telah memberikan sebagian besar waktunya untuk orang lain.
Sebagian orang mungkin menganggap purna bakti sebagai waktu istirahat total. Tapi tidak bagi seorang guru. Jiwa pengabdian itu terlalu kuat untuk dihentikan begitu saja.
Guru yang sudah purna bakti memang tak lagi mengajar di kelas tapi semangat mereka dalam mendidik tetap hidup. Bedanya, kini mereka lebih fokus mendidik diri sendiri ---dalam ibadah, dalam kesabaran, dalam menanti panggilan yang paling dinanti: haji.
Selama bertahun-tahun, para guru ini telah hidup dalam kesederhanaan. Gaji memang dicukupkan saja. Jabatan bukan hal yang dikejar. Yang mereka cari adalah keberkahan dalam mendidik.
Maka, jangan heran jika salah satu mimpi terbesar para guru ketika pensiun adalah menunaikan rukun Islam kelima dengan berhaji ke tanah suci.
Tapi seperti yang kita tahu, haji bukan hanya soal niat dan biaya. Ada antrian panjang yang harus dilalui. Kadang bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.
Tak sedikit guru yang sudah purna bakti harus bersabar menunggu panggilan haji. Bahkan ada yang pernah hampir berangkat, tapi gagal karena alasan teknis atau kondisi kesehatan.
Namun semua itu tak menyurutkan niat. Justru menjadi pemantik semangat untuk terus mempersiapkan diri, memperbaiki kualitas ibadah, dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT.