Mohon tunggu...
Akbar
Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah anak pertama dari 3 bersaudara, pada saat ini saya sedang menempuh PPG Calon guru disalah satu kampus dijawa timur. Saya memiliki hobi bermain bola, semasa kecil sampai saat ini saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama bola dan teman-teman saya dibandingkan dengan keluarga saya.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Seni Menyukai Diam-diam di Usia Dewasa

24 September 2025   09:32 Diperbarui: 24 September 2025   09:32 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Menyukai seseorang diam-diam itu ibarat punya hobi rahasia yang tidak bisa kita ceritakan ke siapa pun. Bayangkan kalau ada orang yang suka mengoleksi batu kerikil di pinggir jalan lalu diberi nama satu-satu, pasti malu untuk mengakuinya, kan? Nah, kurang lebih seperti itu rasanya menyimpan perasaan ini. Bedanya, kalau batu bisa ditaruh di rak dan dilihat kapan saja, orang yang saya sukai ini hidup bebas, bisa ketemu siapa saja, dan bisa jatuh hati pada siapa saja. Dan saya? Saya hanya bisa menatap dari jauh, sambil meneguk kopi yang terlalu pahit untuk jadi penghibur.

Mari saya ceritakan keseharian saya sebagai seorang pria yang sudah cukup dikatakan dewasa yang sedang jatuh cinta diam-diam. Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, saya seperti sedang melakukan ritual. Saya berdiri di depan cermin, menilai apakah rambut saya cukup rapi, apakah baju saya terlihat pas, apakah wajah saya cukup segar untuk sekadar menyapa dia jika kebetulan bertemu. Kadang, saya merasa terlalu berlebihan. Maksud saya, untuk apa susah payah menyemprot parfum seolah mau tampil di majalah GQ, kalau ujung-ujungnya saya hanya berani bilang, "Pagi, sudah sarapan?"

Oh ya, itu memang kalimat andalan saya: sudah sarapan? Entah kenapa, setiap kali saya ingin membuka percakapan dengannya, otak saya hanya bisa memproduksi kalimat itu. Padahal, saya sudah siapkan banyak kalimat keren di kepala. Misalnya, saya ingin bilang, "Eh, kamu tahu nggak kalau bintang paling terang di langit malam masih kalah terang dibanding senyum kamu?" Tapi tentu saja, begitu dia lewat, yang keluar dari mulut saya tetap: "Sudah sarapan?" Lengkap dengan suara agak serak, seperti penyiar radio yang baru bangun tidur.

Pernah suatu hari saya mencoba lebih berani. Waktu itu, dia sedang duduk di kafe, membaca buku. Saya pun duduk tidak jauh darinya. Dalam hati saya berkata, oke, ini saatnya. Saya harus buka percakapan lebih berbobot. Saya intip sampul bukunya, ternyata dia sedang baca novel klasik. Kesempatan emas, pikir saya. Saya bisa bilang sesuatu seperti, "Wah, buku itu salah satu karya sastra favorit saya juga." Tapi apa yang keluar? "Eh, kopi di sini menurut kamu terlalu manis nggak?" Sungguh, saya ingin menampar diri sendiri dengan sendok teh.

Kalau soal pura-pura, saya ini juaranya. Misalnya, saya tahu dia suka olahraga jogging. Maka saya pun tiba-tiba jadi rajin jogging. Padahal, sebelumnya, jarak lari terjauh saya hanya dari kasur ke kulkas. Pertama kali ikut jogging, saya coba pasang tampang gagah, seolah-olah lari itu hal biasa bagi saya. Padahal, baru 500 meter, napas saya sudah seperti kereta api tua yang kehabisan batu bara. Sementara dia? Masih lari santai, rambutnya berkibar, dan wajahnya tidak ada tanda-tanda keringat. Saya yang keringatnya sudah setara orang habis sauna, hanya bisa pura-pura batuk biar terlihat "alasan berhenti sebentar".

Kejadian lain yang lebih konyol adalah ketika saya pura-pura suka genre musik yang sama dengannya. Dia bilang suka musik indie folk. Saya yang biasanya lebih akrab dengan dangdut koplo atau EDM (Electronic Dance Music, mendadak jadi "ahli" indie folk. Saya putar lagu-lagu itu setiap malam, padahal sebenarnya telinga saya agak protes. Tapi lama-lama, saya benar-benar jadi suka. Mungkin cinta memang punya kekuatan untuk membuat kita menerima hal-hal baru. Atau, dalam kasus saya, lebih tepatnya: memaksa.

Momen paling kocak terjadi ketika saya tidak sengaja bertemu dengannya di supermarket. Dia sedang memilih sayuran, dan saya tentu saja pura-pura "kebetulan lewat" padahal sebenarnya saya sudah mengikuti dari lorong biskuit. Dia mengambil brokoli, dan saya, tanpa berpikir panjang, langsung ikut mengambil brokoli juga. Masalahnya, saya tidak pernah tahu cara memasak brokoli. Akhirnya, brokoli itu hanya berakhir di kulkas selama seminggu sampai berubah warna jadi cokelat kehitaman. Begitu membusuk, saya langsung sadar: Oh, beginilah nasib cinta saya. Layu sebelum berkembang.

Meski begitu, ada kebahagiaan kecil yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang menyukai diam-diam. Misalnya, ketika dia membalas chat singkat saya dengan emotikon senyum. Bagi orang lain itu hal biasa, tapi bagi saya itu sudah cukup untuk membuat satu hari penuh terasa seperti festival. Atau ketika dia menyapa lebih dulu, meski hanya "Hai," saya bisa memikirkan ulang kata "Hai" itu selama berjam-jam. Apakah nadanya hangat? Apakah ada tanda-tanda dia sebenarnya juga suka? Atau itu hanya kebiasaan ramah biasa? Saya jadi seperti detektif cinta yang menafsirkan petunjuk dari hal-hal remeh.

Saya pernah mencoba menulis surat. Iya, surat sungguhan, dengan tangan. Saya menulis semua perasaan saya di sana, lengkap dengan metafora norak yang bahkan bikin saya geli sendiri. Saya menulis, "Kehadiranmu seperti hujan pertama setelah kemarau panjang." Lalu saya baca ulang dan menertawakan diri saya. Astaga, ini bukan sinetron tahun 90-an. Surat itu akhirnya saya lipat, masukkan ke dalam laci, dan sampai sekarang tidak pernah terkirim.

Kadang saya merasa sedang memainkan sandiwara paling aneh dalam hidup saya. Saya tahu saya suka, saya tahu dia menyenangkan, tapi saya pura-pura tidak pernah serius. Saya tertawa ketika teman lain menggoda saya, "Eh, kamu sering dekat sama dia, ya?" Saya jawab, "Ah, biasa saja, teman kok." Padahal di dalam hati, saya ingin teriak, "Iya, aku suka dia, tapi aku pengecut!" Tapi tentu saja, mulut saya lebih pandai berbohong daripada hati saya.

Banyak orang bilang, kalau suka seseorang, sebaiknya langsung ungkapkan. "Jangan disimpan-simpan, nanti keburu diambil orang," begitu kata mereka. Kedengarannya mudah, tapi praktiknya seperti mencoba diet ketat saat Lebaran: penuh godaan dan penuh alasan. Setiap kali saya ingin mengungkapkan, saya selalu menemukan alasan untuk menunda. "Ah, besok saja, suasananya belum tepat." "Ah, minggu depan, siapa tahu mood dia lebih baik." Dan begitu seterusnya, sampai alasan itu menumpuk seperti utang kartu kredit.

Di sisi lain, menyukai diam-diam ini juga punya sisi filosofis. Saya jadi belajar arti kesederhanaan. Ternyata, bahagia tidak selalu harus berupa pelukan mesra atau status hubungan resmi di Instagram. Kadang, cukup dengan melihat dia tertawa lepas bersama teman-temannya, saya sudah merasa dunia ini baik-baik saja. Meski, tentu saja, ada sedikit perasaan iri: kenapa saya bukan salah satu alasan dia tertawa? Tapi tetap, ada ketenangan aneh yang lahir dari rasa ini.

Saya tahu, cepat atau lambat, saya harus mengambil keputusan: terus menyimpan rasa atau berani mengungkapkan. Tapi untuk sekarang, saya masih menikmati absurditas ini. Menyukai diam-diam memang melelahkan, tapi juga indah dengan caranya sendiri. Ia seperti hujan rintik-rintik yang tidak pernah deras, tapi cukup membuat bumi terasa hidup.

Mungkin, suatu hari nanti, ketika saya sudah benar-benar siap, saya akan berhenti jadi orang dewasa yang hanya bisa menulis esai panjang ini. Saya akan mengganti "diam" dengan "jujur." Tapi sampai hari itu tiba, biarlah saya tetap menjadi penggemar rahasia, yang cintanya bersembunyi di balik kalimat-kalimat sederhana dan tawa canggung.

Pada akhirnya, menyukai seseorang diam-diam itu adalah seni: seni merayakan kebahagiaan kecil, seni menertawakan diri sendiri, dan seni menjaga rahasia yang mungkin tidak pernah diketahui oleh orang yang bersangkutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun