Embun masih menggantung di ujung dedaunan ketika langkah pertama saya menjejak jalur pendakian. Saat itu, saya bersama empat orang teman memulai perjalanan mendaki Gunung Unggaran (salah satu gunung di Jawa Tengah). Langit pagi tampak samar, seperti mengguratkan kesan bahwa perjalanan kali ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan jiwa, perjalanan memahami bagaimana manusia belajar-pelan, berproses, dan tumbuh sesuai dengan kemampuannya.
Sebagai seorang calon guru bahasa Indonesia yang juga pencinta gunung, saya selalu merasa ada hubungan erat antara perjalanan mendaki dan perjalanan belajar. Keduanya membutuhkan persiapan, strategi, dan yang terpenting, pemahaman akan kapasitas diri. Dalam perjalanan mendaki kali ini, saya teringat pendekatan Teaching at the Right Level (TaRL) yang baru saja saya pelajari dalam program PPG. Siapa sangka, menurut hemat saya konsep pendidikan itu justru begitu nyata dalam perjalanan mendaki gunung.
Melihat Perbedaan Langkah
Saat mendaki bersama teman-teman, saya menyadari satu hal yang begitu nyata: tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama. Ada yang melangkah cepat, ada yang tertatih-tatih, dan ada yang butuh berhenti lebih sering untuk mengatur napas. Saya, sebagai guru sekaligus pendaki, melihat bahwa perjalanan ini mirip dengan kelas saya sendiri---tempat di mana setiap anak memiliki kecepatan belajarnya masing-masing.
Sebagian siswa mampu menyerap pelajaran dengan cepat, sementara yang lain butuh waktu lebih lama untuk memahami konsep yang sama. Dalam pendekatan TaRL, saya diajarkan bahwa mengajar bukan tentang menyampaikan materi yang sama dengan cara yang seragam kepada semua siswa, tetapi tentang memahami di mana posisi mereka dan membantu mereka berkembang dari titik tersebut.
Saat di gunung, saya melihat hal ini secara langsung. Seorang teman yang baru pertama kali mendaki terus tertinggal di belakang, napasnya memburu, wajahnya menunjukkan kelelahan. Saya bisa memilih untuk memaksanya menyamai langkah yang lebih cepat atau membiarkannya tertinggal sendiri, tetapi apakah itu adil? Tidak. Yang terbaik adalah menyesuaikan diri dengannya, membimbingnya, dan memberikan waktu baginya untuk menyesuaikan ritmenya sendiri.
Jeda yang Bermakna
Di tengah perjalanan, kami berhenti di sebuah pos pendakian. Beberapa dari kami duduk di bebatuan, meneguk air, dan menikmati udara segar. Seorang teman bertanya, "Apakah kita bisa sampai ke puncak sebelum sore?" Saya hanya tersenyum. Pendakian bukan hanya soal sampai ke puncak, tetapi bagaimana kita menikmati perjalanan, mengenali batas diri, dan memahami bahwa istirahat bukanlah bentuk kelemahan.
Dalam mengajar, saya dulu sering berpikir bahwa siswa harus terus maju tanpa henti, bahwa waktu belajar di kelas adalah waktu yang harus dioptimalkan sepenuhnya untuk memahami materi, begutupun dengan pendekatan TaRL mengajarkan saya bahwa jeda itu penting. Memberi siswa waktu untuk memahami materi sebelum melompat ke topik berikutnya sangatlah krusial. Sama seperti di gunung---istirahat bukan berarti menyerah, tetapi bagian dari strategi agar kita bisa terus maju tanpa kehilangan tenaga.
Di pos ini, saya melihat kembali kelas saya sendiri. Saya teringat seorang siswa yang sering kesulitan dalam memahami struktur teks biografi yang saya ajarkan. Sebelum mengenal TaRL, saya mungkin akan terus mendorongnya untuk mengikuti ritme kelas tanpa memberinya kesempatan untuk mengulang atau memperdalam pemahamannya. Kini, saya sadar bahwa dia hanya butuh "pos pendakian" dalam belajarnya---sebuah jeda untuk menyusun ulang pemahamannya sebelum melanjutkan ke tingkat berikutnya.
Melewati Jalur Berbeda, Menuju Tujuan yang Sama