*Henri Nurcahyo dan Semangat Gerakan Kembali Ke Buku: Menghidupkan Jiwa Literasi di Jawa Timur*
*Oleh: Drs. Akaha Taufan Aminudin, KETUA SATUPENA JAWA TIMUR*
*Jum'at Pahing, 17 Oktober 2025*
*I. Mercusuar di Tengah Lautan Digital*
Dalam era digital yang serba cepat dan penuh hingar-bingar gawai, mengajak masyarakat untuk kembali ke buku terasa seperti mengibarkan bendera perlawanan yang romantis di tengah hegemoni teknologi.
Namun, bagi Henri Nurcahyo, sosok inspiratif dari Lamongan, Jawa Timur, upaya ini adalah panggilan jiwa---sebuah komitmen untuk menumbuhkan budaya membaca melalui Gerakan Kembali Ke Buku (GKKB).
*Henri Nurcahyo---selaku Ketua Dewan Etik SATUPENA Jawa Timur---bergeming dengan semangat membara. Ia adalah penjelajah sejati di dunia literasi: dari jejak karier jurnalistik, penulis lebih dari 61 buku terbit, hingga penggerak budaya Panji*. Artikel ini mengungkap kiprah beliau, filosofi di balik gerakan literasi, serta bagaimana ajakan kembali ke buku menjadi lampu mercusuar dalam lautan digital yang kian deras.
*II. Henri Nurcahyo: Sang Penjaga Benteng Budaya*
Lahir di Lamongan pada 22 Januari 1959, Henri Nurcahyo bukanlah sekadar dosen atau penulis biasa. Setiap langkahnya telah menorehkan jejak panjang yang berharga. Namun, lebih dari angka dan pamor, yang patut kita telisik adalah ketulusan dan konsistensi beliau dalam merawat akal budi bangsa.
GKKB yang diusung melalui BUKUKITA SATUPENA JAWA TIMUR bukan sekadar program kerja; ini adalah filosofi hidup. Hal ini terlihat jelas dalam dukungan beliau terhadap acara di Galeri Raos Pondok Seni Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR, di mana Program GKKB digelar dalam acara "Pitutur Luhur Legenda Sastra Visual" selama dua minggu (26 Mei hingga 6 Juni 2025), bersamaan dengan Pameran Tunggal Karya Dr. Slamet Henkus. Buku-buku karya Panji dari Henri Nurcahyo turut serta dipamerkan dalam kesempatan istimewa tersebut.
Metafora Kunci: Di tengah derasnya arus informasi digital, buku menjadi Oasis Kesabaran dan Perenungan.
Pak Henri menegaskan bahwa buku adalah jendela dunia sekaligus benteng budaya. Literasi, menurutnya, bukan hanya kemampuan teknis membaca dan menulis, melainkan sebuah cara untuk meresapi, mengolah, dan menggali makna kehidupan secara mendalam.