Mohon tunggu...
A Jul
A Jul Mohon Tunggu... Guru Yoga -

Ah, masa?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seddimi Tau, Ajaran Kesejatian Bugis Kuno dalam Perspektif Bhineka Tunggal Ika

1 Juni 2016   13:17 Diperbarui: 1 Juni 2016   13:32 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar: ansetdotordotid"][/caption]Di dalam tradisi Bugis kuno ada kepercayaan atau bahkan sudah menjadi suatu keyakinan bahwa manusia itu pada esensinya hanya satu. Tidak banyak. Tidak lebih dari satu. Yang banyak itu bukan manusianya itu sendiri, namun tubuhnya. Dalam ajaran bugis kuno (Pappejepu) disebut Seddimi Tau, Rupa Tau Mi Maega.

Konon, kepercayaan atau keyakinan tentang diri manusia yang satu itu terinspirasi dan terpahami dari nafas yang ada pada tubuh setiap manusia. Menurut para penganut keyakinan itu nafas yang ada pada setiap tubuh manusia itu satu adanya. Sama. Dan nafas itu adalah polarisasi roh dan nyawa yang sama-sama bersifat satu tak terbilang. Sehingga memunculkan pemahaman bahwa yang banyak itu bukan manusianya itu sendiri, melainkan hanya tubuh atau raganya saja.

Sekarang, mari kita coba pahami ajaran itu lewat contoh nyata kita hidup kita sehari-hari.

Semua kita pasti tidak bisa menolak atau pun menyangkal bahwa untuk dapat hidup, kita memerlukan udara. Udara itu apakah bersifat terhitung (countable) atau kah tidak terhitung (uncountable)? Tentu saja, udara itu tidak bersifat terhitung (countable). Kita tidak bisa menghitung udara dalam format hitungan 1, 2, 3 dan seterusnya, seperti kita menghitungkan butiran beras atau helaian rambut di kepala. Udara itu tak terhitung (countable) sifatnya. Sehingga satunya udara bukan berarti ada udara yang kedua ketiga dan seterusnya. 

Walaupun karakteristik udara di ruangan terbuka dan tertutup bisa berbeda-beda, seperti perbedaan karakter udara di dapur, di kamar mandi dan di ruang tamu, namun perbedaan karakter udara di berbagai tempat atau ruang yang berbeda-beda itu tidak lantas bisa kita artikan bahwa udara yang berada di tempat-tempat atau di ruang-ruang itu bukan lah udara yang satu dan sama. Yang satunya itu bukan terhitung (countable), toh? Tetap saja kita akan menyebutnya sebagai udara. Terlepas adanya perbedaan aroma atau karakter dari udara yang ada di ruang-ruang atau tempat-tempat yang berbeda itu. Nah, lewat contoh seperti disebutkan diatas itulah keyakinan "Seddimi Tau" dari masyarakat Bugis lama itu bisa kita pahami. 

Nafas itu tidak bersifat terhitung (countable). Satunya nafas itu tidak ada yang menduainya. Karena satunya nafas bersifat tak terhitung atau tak terbilang (uncountable). Sama seperti tak terbilangnya sifat udara. Satu udara berarti se-udara. Atau kita mengenalnya sekarang sebagai kata sa-udara. Tidak salah toh kalau kita katakan kita ini sa-udara? Dan karena sifat udara itu satu maka, kita pun pada hakikatnya atau pada esensinya adalah satu! Seddimi Tau!

Berbeda-beda rupa wujud raga dan karakteristiknya, namun satu jua nafasnya! Bhineka Tunggal Ika! 

Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun