Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Amuk Para Guru Besar Amuk Parasurama?

13 Februari 2024   21:11 Diperbarui: 13 Februari 2024   21:16 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebagian para guru besar negeri ini "mengamuk"  menjelang hajatan Pemilu dan Pilpres 2024 dalam hitungan hari memasuki hari penentuan: pencoblosan untuk memilih terutama Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 5 tahun mendatang.  Dalam perspektif  sebagian para guru besar yang marah dan protes terhadap situasi politik hari ini,  etika bernegara saat ini sudah tidak ada dan para politisi, termasuk para penyelenggara Pemilu 2024 (KPU) dinilai telah abai terhadap ajaran bermoral atau etis  bahkan mencampakkan etika dalam memburu kuasa.  

Suara-suara bahwa Pemilu 2024 pasti curang selama Jokowi masih berkuasa pun dihembuskan walau kecurangan bisa dilakukan oleh semua. Pemakzulan Jokowi pun diserukan walau hari pencoblosan tinggal dalam hitungan hari. Tetapi sepertinya para guru besar itu sudah  kadung memutuskan Jokowi sebagai biang pelanggaran etika bahkan  tak segan-segan para guru besar Universitas Gajah Mada atas nama sebagai sesama almamater mendesak Jokowi untuk kembali ke nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang terkandung dalam Himne Universitas Gajah Mada.

Tentang nilai-nilai etis yang dituduhkan dilanggar Jokowi ini tentu bisa diperdebatkan. Presiden Jokowi sendiri berterus terang  cawe-cawe dan terlibat dalam politik kekuasaan ke depan karena melihat adanya peluang besar untuk mencapai Indonesia Emas 2045.  Walau begitu, karena kita adalah negara demokrasi, orang boleh tidak setuju dengan cara Jokowi hendak mewujudkan Indonesia Emas 2045 itu. Ketidak-setujuan itu pun kini bisa dilakukan dengan memenangkan Calon Presiden lain yang tidak didukung Jokowi atau tidak  ada hubungan dengan Jokowi secara keluarga.

Sementara itu, langkah para guru besar itu pun bisa dipersoalkan sebagai offside karena terlibat dan terpeleset dalam pertarungan politik riil yang sedang berlangsung. Padahal mereka, sebagaimana tuntutan pada universitas yang mengedepankan dunia ilmiah,  harus obyektif dan netral. Tidak usah turut cawe-cawe dalam politik yang sebenarnya memang bukan dunia mereka yang selama ini lebih banyak tinggal di menara gading.

Politik memang mempunyai jalan sendiri yang kadang memang perlu mengabaikan etika untuk sementara waktu sebagaimana juga tercermin dalam ungkapan Machiavelian "tujuan menghalalkan segala cara". Dalam hal tertentu sebagaimana juga diungkapkan oleh Bambang Pacul, politisi PDI Perjuangan, tentang watak, nilai dan semangat "korea" dalam usaha melenting ke atas menggapai kehidupan yang mapan pasca mengalami kemiskinan ekstrem. Tapi ingat juga tujuan kekuasaan yang didapat dengan segala cara itu tak akan langgeng kalau tidak berdasarkan tujuan  kekuasaan yang seharusnya yaitu  membela, melindungi dan memakmurkan rakyat. Kita pun bisa belajar dari sejarah sendiri seperti jalan kekuasaan yang ditempuh Ken Arok.

Ken Arok melihat peluang bahwa Nusantara bisa besar dan jaya. Peluang itu tidak bisa dilihat oleh Kediri atau diharapkan dari Kediri. Ken Arok pun menyusun strategi yang dalam menjalankannya itu penuh dengan pelanggaran etik  yang membuatnya dalam hati, sebagaimana diceritakan Pararaton, berjanji akan menyejahterakan keturunan Empu Gandring yang telah dibunuhnya dan juga anak-anak Kebo Ijo yang telah difitnahnya sebagai pembunuh Tunggul Ametung bila nanti cita-cita berkuasanya tercapai. Semua  itu dipenuhi Ken Arok begitu berkuasa. Majapahit yang tidak bisa dilepaskan dari Ken Arok itu  pun hingga sekarang dijadikan pijakan kebesaran dan kejayaan masa lalu Indonesia.

Benturan antara etika yang seringkali menjadi domain  para guru besar atau para brahmana di masa lalu versus  kekuasaan yang menjadi domain para politisi atau para ksatria di masa lalu itu memang sering terjadi. Kisah kemenangan Arok sendiri dimulai dari ketersinggungan para brahmana yang menganggap Dandang Gendhis alias Kertajaya, Raja Kediri,  telah berlaku sewenang-wenang dan tidak etis dengan menindas dan  menuntut para brahmana melakukan sembah kepada Kertajaya yang telah menganggap diri sebagai titisan Bathara Guru. Para brahmana yang tidak mau tunduk pada Kertajaya pun melawan dengan menjadikan Ken Arok  raja dan mendorong penggulingan Kertajaya.

Pada kisah lain ditunjukkan juga pada Brahmana Parasurama yang memimpin pertempuran melawan para raja atau kelas ksatria. Kelas Ksatria yang sudah mendapatkan kebebasan "melanggar" etik seperti  berjudi, minum-minuman keras, berburu, membunuh (dalam perang dan sejenisnya) ternyata malahan semakin lama ketika berkuasa semakin sewenang-wenang dan menghina para brahmana. Akibatnya, dipimpin Parasurama, kaum brahmana bangkit melawan dan berhasil mengalahkan para ksatria. Kisah ini dalam hal tertentu dimaknai ketika India begitu mudah ditaklukkan bangsa asing karena sudah lenyapnya para ksatria tulen yang selama ini menjadi benteng negeri melawan invasi asing. Di sini bisa diartikan, bahwa para brahmana tidak mengerti (geo) politik sehingga perlawanan yang membabi buta atas nama etika terhadap para ksatria justru membuat negeri jatuh ke dalam penjajahan asing.

Apakah amuk para guru besar saat ini sejenis dengan amuknya Parasurama?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun