Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pintu-Pintu Kematian

10 Februari 2023   23:02 Diperbarui: 10 Februari 2023   23:15 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di desa kami, pintu adalah jalan masuk para dewa pencabut nyawa. Sebanyak arah mata angin, begitulah pula banyaknya pintu yang dipercaya ada di desa kami. Di pintu-pintu itulah diletakkan sesaji agar para dewa pencabut nyawa tak masuk ke desa. Bila pun masuk, tak membawa wabah kematian. Namun seringkali kami lalai, (lebih tepatnya tak sanggup) terlebih di musim paceklik dan padi-padi tak ada yang di panen. Karenanya para tetua adat di masa lalu pernah mengambil keputusan agar pintu-pintu itu dijaga siang -malam. Para pemuda pun mengambil beban itu dan menurut cerita para tetua adat yang terus-menerus diturunkan kepada kami, sebagian dari para pemuda penjaga itu pun telah berhasil melihat wajah para dewa pencabut nyawa. Namun, sebagian besar dari para pemuda yang telah melihat wajah para dewa pencabut nyawa itu dibunuh dengan keji. Menurut cerita yang sampai pada kami, hanya satu yang lolos. Untuk waktu yang lama, pemuda yang lolos itu tak menampakkan diri di desa. Seperti lelembut akhirnya ia menjadi cerita dari mulut ke mulut orang-orang di desa kami. Terus-menerus sampai kini termasuk juga saran-saran dari lelembut itu agar kami lolos dari serbuan para dewa pencabut nyawa.  

1511. Malaka. Utara. Ingat? Itulah pintu besar yang pertama kali roboh sehingga para dewa pencabut nyawa pun sampai ke pintu-pintu desa  ini dan kematian pun menjadi dekat, kata Kakek Tertua desa kami kepada kami, para pemuda yang dipanggil berkumpul di rumahnya. Kakek Tertua memanggil kami karena merasa ajal sudah dekat sementara para dewa pencabut nyawa tak pernah berhenti memasuki desa kami.

Bagaimana dengan pemuda yang lolos itu, Kakek? salah seorang dari kami bertanya. Kakek Tertua hanya tersenyum. Ia mendekatkan matanya yang rabun ke wajah kami seakan mencari sesuatu. Namun tak ada yang ditemukan. Ia menggeleng lembut. Butiran air mata pun jatuh di pipinya.

Para dewa pencabut nyawa memasuki pintu utara tanpa ketuk pintu sebagaimana tamu-tamu yang baik. Begitulah juga ketika sampai di desa ini, Kakek Tertua sepertinya enggan  menjawab pertanyaan pemuda tersebut. Kenangan yang menyedihkan? Lama ia berhenti sementara kami ingin bersegera mendengar cerita selanjutnya.

Seperti yang diceritakan kepadaku juga, dari tanda-tanda alam kita dapat mengetahui bilamana para dewa pencabut nyawa akan memasuki desa kita sehingga kita dapat berbuat sesuatu agar kematian tak mewabah di desa kita. Pemuda yang lolos itulah yang mula pertama memberitahu orang-orang di desa kita. Bukankah itu juga sudah diceritakan kepada kamu, para pemuda?

Ya. Aku ingat, Kakek!, seorang perempuan di antara kami berseru girang, di waktu kami kecil kami mengusir burung-burung gagak yang hinggap di pohon-pohon besar di kebun-kebun kita. Kami berteriak:Gagak  pembawa maut! Gagak pembawa maut! Enyahlah kau! Enyahlah kau!. Kami memukul apa saja sampai berisik. Ramai sekali. Dan melemparkan apa saja ke arah burung-burung gagak hingga burung-burung gagak itu malu. Lalu terbang menjauh dari desa kita, Kakek Tertua tersenyum.

Benar, kata Kakek!, seru lantang seorang pemuda berambut gondrong,di waktu hujan deras ketika kami masih di sawah mengusir burung-burung pencuri padi kita, kami berteriak: Kami cucu Ki Ageng Selo! dan Dewa Petir tak berani mencabut nyawa kami. Kami pun selamat bila berlari riang pulang ke rumah , lagi-lagi Kakek Tertua tersenyum.

Di malam hari, bila Burung Hantu bernyanyi haru: Kuk..KukKuk.. Kuk Kami sembunyi di bawah selimut. Ibu-ibu dan kakak-kakak kami memeluk kami hangat. Ayah-ayah kami pun keluar rumah; waspada di tengah malam yang angker; menunggu sampai Burung Hantu itu berhenti bernyanyi dan pergi dari rumah kami sehingga tak ada dari kami yang pergi bersama maut bila waktunya belum tiba. Tapi, kami yakin ada salah satu di antara orang-orang di desa kita yang akan segera pergi bersama maut karena waktunya sudah tiba. Karena itu kami berdoa semoga yang pergi selamat di alam kubur kata pemuda bertubuh tambun pelan.  Kakek Tertua terbatuk-batuk dan  mengangguk-angguk.

Bahkan dari mimpi kami pun tahu, Kakek, kata seorang pemuda yang tak kukenal,ketika salah satu dari gigi kami tanggal dalam mimpi,  ini berarti ada salah satu dari saudara kami yang akan meninggal dalam waktu dekat. Karenanya kami bersiap dan saling memberitahu agar kami berkumpul dengan akrab untuk  mengantarnya ke alam kubur. Lagi, Kakek Tertua mengangguk-angguk.

Bila kekhawatiran menyelimuti perasaan dan hati seisi rumah karena sepertinya  ada yang menghendaki nyawa orang yang kami cintai, Ayah keluar mengelilingi rumah dengan telanjang bulat. Terkadang bersama Ibu. Suara yang mengharukan yang tak kukenal. Aku melirik. Seorang perempuan. Cantik. Kakek Tertua memejamkan mata.

"Bila ada katak berbunyi begitu dekat di musim kemarau tapi bila didekati bunyinya menjauh dan terus-menerus menjauh bila didekati bahkan bisa sampai ke laut selatan, kami  yakin Ratu Pantai Selatan bersama bala tentaranya sedang berjaga di pintu selatan sehingga kami boleh tertidur nyenyak dalam beberapa malam tanpa takut marabahaya datang mengancam, kata pemuda botak dengan khidmad. Kakek Tertua masih memejamkan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun