Mohon tunggu...
ajril sabillah
ajril sabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jarak yang Menyatukan

18 Juni 2025   09:25 Diperbarui: 18 Juni 2025   09:25 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi LDR (Sumber Foto: Parade.com)

 

Malam itu, kota tenggelam dalam sunyi yang lembut, hanya ditemani nyala lampu jalanan yang menguning redup seperti perasaan yang perlahan memudar. Di balik layar ponsel yang mulai panas karena terlalu lama digenggam, Lira masih menatap layar obrolan yang tak lagi bertambah. Pesan terakhir dari Rey sudah hampir dua jam yang lalu, "Maaf, sinyal di sini jelek. Aku coba kabari lagi kalau bisa." Pesan singkat yang baginya seperti peluru kecil menembus hati, bukan karena marah, bukan karena kecewa, tapi karena rindu yang tak pernah bisa ia kendalikan. Mereka bukan pasangan yang baru. Lima tahun, terpisah oleh benua dan waktu, Lira di Surabaya, Rey di Istanbul, bekerja sebagai jurnalis lepas. Mereka hanya punya malam dan internet sebagai tali pengikat yang rapuh namun tetap bertahan.

Lira memejamkan mata, mencoba mengingat suara Rey yang biasa ia dengar melalui pesan suara. Suara yang selalu tenang, selalu sabar, dan selalu bisa menenangkannya bahkan saat dunia terasa terlalu berat. Ia ingat pertemuan terakhir mereka---dua tahun lalu di sebuah kedai kopi kecil dekat pelabuhan. Rey menggenggam tangannya dengan erat, lalu berkata, "Kalau suatu hari kamu lelah, istirahatlah. Tapi jangan berhenti. Kita akan tetap bertemu, meski harus berkeliling dunia dulu." Kata-kata itu tertanam dalam, dan sejak hari itu, Lira belajar berjalan berdampingan dengan kesepian.

Setiap malam ia menulis surat untuk Rey, meskipun tahu surat itu tak pernah dikirim. Surat yang ia simpan dalam folder rahasia di laptopnya, sebagai tempat menyimpan rindu yang tak bisa diungkapkan langsung. Surat-surat itu berisi cerita tentang hari-harinya, tentang hujan pertama setelah kemarau panjang, tentang kucing yang datang setiap pagi, bahkan tentang rasa bosan yang kadang menyiksanya. Tapi dalam setiap kalimat, ada satu benang merah yang selalu muncul: ia merindukan Rey, bukan hanya sebagai kekasih, tapi sebagai rumah. Rumah yang selalu ada dalam bayangan dan doa.

Suatu malam, ketika bulan tergantung rendah dan angin membawa aroma tanah basah, ponsel Lira bergetar. Sebuah video call masuk. Rey. Ia terkejut, ragu-ragu menekan tombol hijau, takut akan kekecewaan baru. Tapi begitu wajah Rey muncul di layar, dengan rambut agak panjang dan senyum lelahnya, semua rasa lelah itu seolah hilang. "Lira," ucapnya pelan, "aku dapat cuti. Aku akan pulang bulan depan. Bukan cuma seminggu, tapi sebulan penuh. Aku ingin kita bicara, bukan lewat layar, tapi langsung." Air mata Lira jatuh, bukan karena sedih, tapi karena bahagia yang menyesakkan dada. Kata-kata itu sudah cukup membuat dunia yang hampa menjadi penuh kembali.

Bulan berganti. Hari-hari Lira dipenuhi dengan persiapan, tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat Rey tahu bahwa ia dinantikan. Dan ketika akhirnya Rey benar-benar datang, berdiri di depan pintu rumahnya dengan jaket jeans lusuh dan tas ransel hitam, Lira hanya bisa memeluknya erat tanpa sepatah kata pun. Mereka tidak berkata banyak malam itu. Dunia tidak perlu tahu percakapan apa yang terjadi antara dua hati yang lama terpisah.

Mereka hanya duduk berdua di beranda, dengan secangkir teh hangat dan lagu lama mengalun pelan dari radio tua. Jarak yang dulu begitu menyakitkan, kini menjadi alasan mereka saling memeluk lebih erat. Bukan untuk menebus waktu yang hilang, tapi untuk bersyukur bahwa rindu tidak pernah salah arah. Bahwa cinta, meski diuji jarak dan waktu, selalu tahu jalan pulang.

Dan pada akhirnya, mereka sadar: mungkin jarak pernah memisahkan tubuh mereka, tapi tidak pernah jiwa mereka. Karena jarak itu sendiri, ternyata adalah jembatan. Bukan penghalang. Jarak itu yang menyatukan---dan memperkuat mereka.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun