Mohon tunggu...
Aji Muhammad Iqbal
Aji Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatir

Pantang meninggal sebelum berkarya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan Seksual Seolah Merayakan "Big Sale"

9 Desember 2021   12:52 Diperbarui: 9 Desember 2021   18:25 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kekerasan Seksual: detik.com

Oleh: Aji Muhammad Iqbal (Penulis Amatir)

Isu kekerasan seksual sepertinya topik yang tak pernah habis dibahas. Akhir-akhir ini aja udah hampir tiap minggu dengarnya. Selain sedang banyak urusan kerja, tentu orang seperti saya ikut pusing liat isu tiap minggu, selalu saja ada korban kekerasan seksual.

Jika kamu selaku pengguna aktif media sosial, pernah ngerasain gak sih kekerasan seksual belakangan ini menjadi isu yang sering muncul di media? Selain isu politik, kekerasan seksual juga menjadi topik mainstream yang menggemparkan jagat maya. Buset, meski cakapnya gak seberapa, si pelaku ini udah kaya super hero aja sering eksis di media.

Saking pusingnya liat berita kekerasan seksual, membuat saya penasaran coba searching-searching. Hasilnya cukup mengagegatkan. Ternyata, banyak sekali memang isu kekerasan seksual di tahun 2021. 

Dalam catatan Komnas Perempuan misalnya, bulan Januari sampai Bulan Oktober 2021 ada 4.500 kasus kekerasan pada perempuan. "Emang segitu kebilangan banyak?" bagi ukuran bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi moralitas, angka segitu tentu banyak banget.

Belum isu yang baru-baru ini masih hangat. Misalnya, kematian bunuh diri Novia Widiasari di pusara ayahnya yang disebabkan depresi karena diperkosa hingga hamil, dan dipaksa untuk aborsi oleh pelakunya, Bripda Randi, anggota Polres Pasuruan.
Ngeri gak sih dengernya? Orang yang masih punya sisi kemanusiaan, pasti ngeri lah. 

Bayangin depresinya separah apa coba sampai dia bunuh diri. Bahkan pelakunya oleh anggota kepolisian, institusi yang punya tageline melindungi dan melayani masyarakat.  

Selain itu, kekerasan seksual di kampus juga marak. Misalnya baru-baru ini, seorang mahasiswi korban pelecehan seksual, dihapus dari daftar wisuda oleh dosen pelakunya. 

Sebobrok itu ya ternyata wajah institusi pendidikan kita. Para pelaku bersembunyi di bawah karpet perguruan tinggi. 

Saking kuatnya relasi kuasa predator dan lemahnya payung hukum, kampus yang senantiasa menjaga nilai, malah melindungi orang yang menciderai nilai.

Ditambah lagi yang masih hangat, kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan Agama. Seorang guru di Pesantren memperkosa 12 santriwati. 

Biadabnya, dikabarkan dalam berita, 8 anak sudah melahirkan dan 2 anak sedang hamil. Oh my God! Mestinya pesantren yang senantiasa membekali narasi-narasi kebenaran agama menjadi ruang aman bagi para perempuan, bukan malah sebaliknya.

Jika separah ini, kekerasan seksual janganlah lagi kita sebut sebagai tindakan asusila, tapi murni adalah tindakan kejahatan yang mampu memporak porandakan hak kemanusiaan si korban. 

Lalu, kenapa selalu perempuan yang jadi korban?  Wajarlah, karena budaya patriarkis masih melekat kuat pada bangsa kita, budaya yang menyebut laki-laki lebih superioritas, lebih memiliki kuasa dibandingkan perempuan dan keyakinan itu diiyakan oleh dominasi masyarakat kita.

Saya sih ada sisi cemas, ketika narasi edukatif kekerasan seksual belum begitu massif menembus pikiran orang-orang, merubah cara pandang, selama itu pula kekerasan seksual akan senantiasa terjadi, baik di ranah publik ataupun domestik tanpa terkecuali juga institusi lembaga pendidikan. 

Persoalannya sederhana kok, hanya urusan merubah cara pandang dan kesadaran. Kita mesti apresiasi harusnya pada para pegiat isu perempuan. Kini kita diuntungkan oleh mereka ada yang masih memperhatikan, mengadvokasi para korban kekerasan perempuan.

Lalu, bagaimana peran kita menyikapinya? Cukup simple kok, jika dirasa berat untuk mengadvokasi, minimalnya jari-jari kita yang kebiasaan megang gadget tiap hari, cobalah narasi-narasi edukatif tentang bahaya kekerasan seksual kita share di berbagai media sosial. 

Hal ini penting karena media mampu memframing dan merubah pola pikir orang-orang yang tadinya bersikap bodo amat pada isu kekerasan seksual, tentu bakal lebih penasaran dan mencari tahu.

Jika narasi edukatif sudah massif merubah cara pandang, tentulah kekerasan seksual  perlahan akan mengikis kedepannya. Gak seperti tahun ini,  isu kekerasan seksual seolah merayakan big sale. Miris!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun